Eyang..

Jabal Nur

Mama dan nenek dua sejoli yang tidak pernah berpisah, khususnya setelah papa berpulang. Sepeninggal mama dua tahun lalu nenek meneruskan hidup dengan adek saya nomor dua. Panggilan nenek berubah jadi eyang setelah beliau ada cucung, anak-anak saya. Akan masuk 93 umur beliau Januari tahun depan, sudah paling senior saat ini.

Senin 17 Desember lalu, kondisi tubuh beliau tiba2 drop, diagnosa RS Tentara Solok terindikasi jantung, tekanan darah dibawah 90, tapi masih sadar. Di rujuk ke RSUD Solok lima hari perawatan. Nenek memang kuat dari dulu. Tipikal kembang desa tahun 40an yang lebih banyak diasupi makanan organik menjadikan tubuh beliau prima sampai hari tua.

Saya dan adik2 tumbuh ditangan beliau, sebagai pengganti Papa mendampingi mama membesarkan dan mendidik kami. Sebagai penerima pensiun dari Angku (kakek) beliau memiliki penghasilan yang bisa menjadi daya tarik kami menemani beliau setiap bulan ambil pensiun. Dengan itulah nenek membantu mama membesarkan kami adek beradik..😊

Tahun 1990 ke kampung kami harus berjalan kaki 10 jam untuk bisa sampai ke pusat peradaban, kami selalu semangat jika berjalan dengan beliau, ilmu “onjak-onjak” untuk berjalan dipendakian terjal saya dapat dari beliau, yang kelak terpakai saat hobi tarcking dan naik gunung, dulu.

Saya pernah terinjak pecahan kaca waktu SD yg mengakibatkan impeksi dan tidak bisa jalan, nenek waktu menggendong saya naik turun bukit lewat jalan setapak hampir 40km untuk keluar dari kampung. Saya masih ingat dan beberapa tahun setelahnya saya berazzam kelak untuk menggendong nenek di tanah suci, walau belum kesampaian dan mungkin sudah tidak bisa, terbentur aturan. Alhamdullillah dua tahun lalu mamalah yang mewakilkan azzam saya untuk menemani eyang ke tanah suci.

Mungkin awal tahun 2019 ini akan jadi titik balik dari “herkules”nya Eyang. Diagnosa dokter mengisyaratkan bahwa eyang memang sudah masanya melepas “kekuatan” beliau. Dari awal masuk RS sampa sekarang belum bangun beraktifitas seperti sediakala. Kekuatan fisik menurun mungkin sudah sunnatullah, tapi alhamdullillah psikis masih tetap terjaga, fikiran masih sangat baik, masih bisa shalat sambil tidur. Walau memang sensitifnya perasaan beliau sudah lebih tinggi dari cucungnya.

Pelajaran hidup dari Eyang yang tidak terlupakan bagi saya adalah selalilu menjaga kehormatan dan kemandirian, menjaga izzah. Beliau memang tidak mengucapkan tapi menunjukkan dalam hidupnya. Selain meneruskan menerima pensiun kakek, beliau juga seorang pekerja keras, tidak mau berpangku tangan, kesawah, keladang menambah penghasilan beliau yang menjadikan beliau ber izzah. Tipikal anak orang kaya mungkin, karna memang dulu mamak2 dan keluarga nenek orang terpandang dan berada.

Eyang masih tersenyum manis saat bertemu dengan cucung laki2nya si lelaki anak bungsu saya, pada hari yang sama dengan Eyang keluar RS saya dan sibujang juga sampai, walau sudah seminggu tidak bisa masuk makanan, senyum Eyang masih sumbringah. Pijitan lembut Ziyad meronakan wajah yang selalu membuat rindu. Beliau dari dulu memang tidak mudah dekat dengan sembarang orang, termasuk anak2. Tapi selalu memberi senyum termanis pada kami adek beradek dan sekarang turun ke anak2 kami.

Doa terbaik kami untuk Eyang, sebagaimana tulusnya eyang merawat, membesarkan dan mengantarkan kami ke kehidupan yang lebih baik. Kolaborasi dua sejoli Mama dan Eyanglah yang membuat kami jadi generasi beruntung.

Sehat lagi eyang…..

Solok, Bogor, Dec 2018

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s