
Ini kata hati dan opini pribadi tentang keberfihakan dan pilihan politik.
Politik dalam KBBI di artikan:
- n (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan):bersekolah di akademi —
- n segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain: — dalam dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dalam bidang –, ekonomi, dan kebudayaan; partai –; organisasi —
- n cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan: —
Siasat untuk memerintah, mungkin itu tepatnya kalau kita bicara tentang politik saat ini. Ini tahun pemilu, dimana calon-calon yang sudah ditetapkan mulai menyiapkan siasat. Fokus ke calon Presiden yang kita semua sudah tau hanya 2 pasang calon yang ada untuk dipilih memerintah negara tercinta ini 5 tahun dari 2019.
Bagaimana seharusnya diri kita berfihak untuk menentukan pilihan dari dua yang tersedia ini. Terutama bagi kita yang mempunyai realistisitas untuk menimbang dan merasa, dengan akses informasi yang sangat terbuka saat ini harusnya kita bisa berfihak secara benar dan sesuai nurani.
Benar itu diukur dengan apa? apakah dari logika logis dengan melihat apa yang didepan mata, membaca apa yang di ujung jari, atau berdasarkan fakta yang tampak dalam keseharian? Atau malah berdasarkan pilihan orang2 yang kita anggap benar? Atau yang lebih parah memilih karena pengaruh propaganda bahwa dia layak untuk dipilih? Bagaimana seharusnya?
Kita hidup saat ini di negara yang sudah sepakat memakai sistem demokrasi untuk prosesi penggantian kekuasaan, bukan monarki, bukan komunis, apalagi otoritarian militeristis. Karena itu selayaknya kita bukan hanya ikut-ikutan tetapi juga berpartisipasi penuh sesuai dengan kemampuan dan posisi kita. Baik buruknya sistem ini akan tergantung pada kita yang terlibat didalamnya. Patut disyukuri karena tidak semua sistem pemerintahan yang memberikan pilihan penuh pada rakyatnya untuk menentukan pemimpinnya sendiri. 87% penduduk indonesia yang beragama Islam, mau tidak mau akan mewarnai baik atau tidaknya sistem ini.
Bagi saya pribadi, tuntunan pertama untuk memilih pemimpin adalah landasan ideologi, sebagai umat Islam, selayaknya tuntunan agamalah yang di jadikan dasar utama menentukan keberfihakan dalam menentukan dan memilih pemimpin. Bagi sahabat2 lain yang menjatuhkan pilihan dengan dasar ideologinya masing2 haruslah di hormati. Konstitusi kita mengakomodir itu, setiap warga negara bebas untuk menjalankan nilai dan tuntunan agamanya.
Dalam Islam, politik merupakan salah satu cabang ilmu fikh, syiyasah, sebagaimana cabang2 lainnya yang mengatur cara hidup manusia dari lahir sampai mati, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Aturan2 dan nilai2 landasan dalam menjalankan pemerintahan negara sudah ada kerangka umumnya, termasuk tuntunan dalam pemilihan pemimpin, aturan besarnya sudah ada dengan contoh dan model2nya sejak jaman khulafaurrasyidin yang pertama.
Syarat umum dalam Islam untuk seorang pemimpin harus beragama Islam, bukan cuma Islam tapi yang amanah, adil dan alim atau berilmu, kriteria itu haruslah jadi check list yang pertama sebelum menggunakan parameter lainnya dalam menetapkan pilihan. Perdebatan apa makna pemimpin, amanah, adil dan sebagainya, bisa dijadi khazanah pemikiran, perdebatan positif penuh ilmu itu akan menghidupkan akal. Sebab itu selayaknyalah kita umat islam mempelajari dengan detail agar tuntunan tersebut bisa kita aplikasikan dalam kehidupan dan realitas politik yang sebenarnya.
Kembali ke konteks, apakah dua calon saat ini memenuhi ini, lagi2 tingkat pemahaman kita terhadap agama akan menuntun jawabanya, jika kedua calon belum sepenuhnya memenuhi, satu kaidah pemungkas bisa diterapkan, “pilihlah yang paling kecil mudaratnya”, bagi kita dan bangsa ini.
Tuntunan kedua adalah keberfihakan. Bagi kita pemilih, untuk melihat keperpihakan calon pemimpin yang akan dipilih bisa dilihat dari yang kasat mata. Apalagi saat ini ketersebaran informasi makin menutup ruang bagi kebohongan dan kepalsuan. Dijaman lalu opini kita tergantung media utama dan tokoh panutan, tapi zaman kita ini informasi ada diujung jari masing2 yang punya handpone. Tapi jangan juga salah, harus di fahami teknologi artificial inteligent dan big data saat ini juga bisa menjadikan kita semua hanya sebagai subject. Ada strategi yang dipakai para calon pemimpin dengan memanfaatkan teknologi ini, dimana citra mereka di sesuaikan dengan tren yang disuka calon pemilih.
Jadi bagaimana melihat keberfihakan yang asli. Kalau kita punya saluran komunikasi lansung dengan calon pemimpin, diskusi adalah jalan terbaik untuk melihat keberfihakan seorang pemimpin. Kalau tidak, bisa dilihat dari orang-orang dan siapa yang disekitarnya, teman adalah cermin dari diri. Dari narasi2 yang dia kumandangkan, dari kebijakan yang sudah dilakukan, dari aturan2 yang sudah dikeluarkan (untuk petahana). Pendidikan dan latar belakang kelurga juga bisa digunakan untuk melihat keperpihakannya, walaupun tidak bisa di generalisasi.
Bagi umat islam, keperpihakan pemimpin terhadap umat islam, nilai2 islam dan tantangan2 utama dalam kehidupan muslim di NKRI tercinta ini adalah hal yang mutlak untuk dijadikan patokan dipilih atau tidak. Apa tantangan umat islam paling besar saat ini, menurut saya yang paling berbahaya adalah sekulerisasi dan liberalisasi agama2 yang dipaksakan lewat kekuasaan. Tantangan ini tidak hanya untuk agama islam tapi semu agama, adanya fihak2 yang mencoba memaksakan dua isme ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita melihat dengan jelas, paksaan itu semua menyebabkan konflik yang makin meruncing antar anak bangsa.
Dua isme tersebut merupakan pintu masuk bagi penghancuran agama2, orang2 yg berfaham sekuler dan liberal akan sangat toleran dengan penyimpangan pemahaman agama dengan alasan macam-macam. Untuk itu umat islam perlu cermat melihat siapa-siapa yang ada disekeliling calon pemimpin, apakah ada agen-agen sekuler liberal dan seberapa besar jumlah mereka di sekitar pemimpin tsb. yang bagaimanapun pasti akan mempengaruhi kebijakannya.
Ada juga yang mengatakan tantangan terbesar negara ini kedepan adalah radikalisasi, walau istilah ini masih diperdebatkan pengertiannya, tapi menurut saya pupuk penyubur orang berbuat radikal adalah rasa keadilan yang tidak dipenuhi. Kalau dihubungkan dengan agama, tindakan sekuler dan liberal yang dipaksakan dengan kekuasaan sangat mungkin menyebabkan radikal dalam berfikir dan bertindak, sebagai contoh dipaksakan toleran terhadap penghinaan terhadap agama, jika seseorang merasa beragama maka sesuatu yang wajar kalau hatinya perih disaat ada yang mencela agamanya. Itu salah satu contoh saja dan itu pernah terjadi di bangsa ini, tapi bagaimana umat islam memilih jalan hukum dan kedamaian untuk menuntut keadilan, menjadi bukti bahwa stigma radikal itu hanya propaganda, kalaupun ada itu adalah oknum bukan laten yang harus di basmi. Aparat negara kita sangat mampu mengatasi itu.
Kemudian keperpihakan pada bangsa, Negara dan rakyatnya. Ini kadang kala agak sumir dimengerti, untuk melihatnya perlu telaah lebih dalam. Bagaimana rekam jejaknya dimasa lalu dan pandangannya ke masa depan. Kadang kala kasat mata kita dipertontonkan oleh seorang pemimpin yang sering turun ke rakyat dan digambarkan merakyat, tapi kebijakan yang dikeluarkan menyensarakan rakyatnya, kebutuhan pokok untuk hidup, sandang pangan papan sekarang ditambah colokan, diserahkan ke mekanisme pasar, dengan alasan “rakyat harus dididik tidak manja, subsidi dialihkan untuk pembangunan, dll”. Atau malah sebaliknya, hidup parlente karna dia memang kaya raya, mobil mewah, keluarga mewah, penuh kemewahan pokoknya, tapi pandangnya terhadap keberfikan pada rakyat lebih subtantif.
So, dari kriteria kedua ini apakah sudah bisa memilih? Kalau kedua calon mempunya keberfihakan yang menurut kita sama, kita lanjut dengan saringan ke-3.
Ketiga kapasitas pemimpinan. Buat saya pribadi kebanggan kita terhadap pemimpin merupakan keharusan, kita tidak akan bisa taat dan patuh kalau kita tidak bangga terhadap yang memimpin kita. Pemimpin yang bisa dibanggakan datang dari kapasitas yang dia punya secara natural. Kapasitas diri itu datang dari tempaan yang dia dapat dalam kehidupannya. Bisa dari pendidikan baik formal maupun non formal, pengalaman, latar belakang profesi, atau bahkan trah, lingkungan keluarga membentuk kapasitasnya untuk memimpin, walau tidak sepenuhnya bisa dijadikan patokan.
Kapasitas ini tidak bisa prematur, sebagai contoh saya pribadi saat ini sesuai kapasitas saya baru mampu mengelola project maksimal 10 juta dolar, lebih dari itu kapasitas saya belum memadai, harus dengan tambahan pendidikan dan pengalaman untuk meningkatkan kapasitas. Apalagi pemimpin negara yang akan mengatur hidup dan kehidupan kita, kapasitasnya tidak bisa setara dengan kita, kalau sama atau lebih rendah bagaimana kita bisa bangga. Kita butuh kapasitas pemimpin, bukan hanya sekelas manager. Kapasitas diri seorang pemimpin itu secara alamiah akan mendrive dirinya untuk berintegritas, tidak gantung oleh lingkarannya tapi tempat bergantung yang dipimpinnya.
Bagaimana kita tau calon pemimpin yang berkapasitas bagus? salah satunya dari narasi, presiden yang merupakan pemimpin tertinggi di negara ini harus berkapasitas sebagai narator, setiap dia berbicara kutup positif magnetnya akan aktif dan mengaktifkan kutup berlawanan semua orang dan rakyatnya, sehingga eratnya ikatan akan terasa. Narasi juga akan menunjukkan inner capacity dari dirinya, kecerdasan merupakan modal utama untuk kemampuan bernarasi, kita rindu kata2 yang bisa menyebabkan tetesan air mata rakyatnya, air mata bangga. Bisa menyebabkan dada rakyatnya menggelora menentang segala yang menghadang, kata2 bisa menyebabkan rakyatnya berjalan santai, marathon atau bahkan sprint.
Selain itu bisa kita lihat dari cara merespon pertanyaan cerdas dan kritis, pemimpin yang punya kapasitas baik akan merespon dengan baik setiap challanges yang diberikan padanya, seringkali kita sebagai rakyat deg-degan sendiri saat pemimpin kita sedang di challange takut salah bicara dan membuat ilang feeling.
Ada yang berkata, “hilangkan lah politik identitas, pilihlah berdasarkan program, visi dan misi”. Pemahaman saya, berpolitik itu sejujurnya adalah untuk memperjuangkan dan menjaga identitas kita, presiden Soekarno pernah berkata yang intinya, berpolitiklah, kuasai badan legislatif agar nilai2 agama bisa masuk ke dalam hukum positif bangsa ini dengan cara yang sudah di sepakati, demokrasi.
Soal program, visi dan misi, buat saya itu semua tak lebih dari administrasi KPU yang tidak perlu dianggap serius, apakah bisa kita menuntut janji kampanye calon pemimpin menjadi tuntutan hukum, kan tidak. Banyak bukti, janji dolar 10rb aktualnya 15rb, janji pertumbuhan ekonomi 8% hanya mentok 5%, janji menuntaskan masa bakti, setahun sudah kasak kusuk. Janji tak impor, janji tak hutang, janji tidak bagi-bagi jabatan, dan puluhan janji lainya. Apakah semua itu bisa dituntut, tidak kan?
Sehingga, tiga hal diatas menurut saya adalah tuntunan realistis yang bisa dipakai untuk menetukan pilihan kita pada calon pemimpin di pemilihan tahun depan. Kita ingin negara ini menjadi negara terhormat dimata dunia bukan hanya negara berkembang yang hanya dimanfaatkan sebagai pasar, kita tentu ingin ramalan tahun 2030-2040 Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi level atas dunia dan tentu saja kita juga tidak mau negara ini hancur ditahun yang sama akibat kepemimpinan yang tidak baik.
Kita perlu pemimpin yang komit menjaga agama dan semua umat beragama, berfihak pada bangsa dan negaranya dengan full dan tentu berkapasitas terbaik untuk mampu menjado nakhoda bangsa besar ini.
Siapa dia? Semua kita harusnya sudah menentukan pilihan sesuai dengan kriteri masing2. Dan jikalau masih belum, bisalah tuntunan ini dijadikan sebagai satu catatan kaki.. calon hanya DUA..š
Bogor-palembang, 16 Dec 2018.