
Mak Wo atau Mak Tuo atau Emak tua, panggilan kami adek beradek pada kakak kandung Papa (alm), dulu waktu Nek Baruah (nenek bawah), ibu Papa dan Mak Wo kami masih ada, Mak Wo dan Nek Baruah juga dua sejoli yang turut membesarkan dan berpengaruh besar pada hidup dan kehidupan kami. Layaknya Oma dan Eyang, tak terpisahkan.
Papa dan Pak Wo suami Mak Wo, meninggal hampir bersamaan hanya berjarak satu bulan. Waktu itu jaman ujian, Mak Wo kehilangan suami dan adek, mama saya kehilangan suami dan ayah, karna Papa dan Kakek meninggal hanya berjarak 2 hari, papa 28 Mei 1988, kakek 30 Mei 1988.
Nek Baruah berpulang saat saya kelas dua SMP tahun 1994, waktu saya hanya bisa meringkuk di tempat tidur dan menangis sejadi2nya saat dapat kabar Nek Baruah mendahului kami, mungkin hampir satu jam saya meratap dibantal. Kondisi belum seperti sekarang, jalan kaki sehari untuk bisa sampai ke kampung, jadi tidak bisa pulang.
Mak Wo kakak Papa paling tua, dibawah beliau ada Pk Etek Mudiak, papa dan pak etek Nasrul paling kecil, saat ini hanya tinggal Mak Wo dan Pak Etek Nasrul. Mak Wo dua kali kena serangan strok, yang pertama bisa disembuhkan total tapi serangan kedua membuat tubuh bagian kanan tidak bisa bergerak, saat ini dalam proses terapi penyembuhan.
Hidup saya di kampung waktu kecil, separo hari habis dengan sepupu saya anak Mak Wo paling kecil, yang seumuran dan sama tumbuh, artinya separo hari2 saya dibawah didikan Mak Wo dan Nek Baruah sampai usaia 12 tahun, setelah itu saya dan Sepupu sama2 “gadang di rantau”, sampai sekarang.
Mak Wo, juga type pekerja keras, kesawah ke ladang untuk membiayai 5 anak beliau. Anak Mak Wo yang paling tua Ni Yanti, kemudian Ta Ir, Ni Dedeh, Ni Netik dan sepupu saya I Boy. Anak cucu mak wo tumbuh dan berkembang. Sudah punya cicit juga satu orang sekarang. Rame.
Mak Wo hampir sama dengan eyang, tidak pernah marah apapun kurenah saya, saya masih ingat beberapa kejadian dengan yang membuat Mak Wo histeris. Pertama saat saya salto masuk ke selokan di depan rumah Niak Jadun, kepala berdarah, sekitar kelas 5 SD, beliau menyiram saya dengan air seember, mungkin buat menyadarkan saya 😊. Kedua saat telapak kaki saya kemasukan papan coran jalan sebesar kelingking, masuk dari sela empu jari dan jari tengah hampir tembus ke telapak kaki. Beliau menggendong saya sampai kerumah sambil menangis, yang menyebabkan orang kampung pada keluar. Saya sering meringis kalau ingat kejadian itu.
Kalau saya pulang kampung, setiap libur sekolah, kuliah sampai sekarang yang hanya sekali lebaran pulang kampung, setelah peluk ciun dengan mama dan nenek, saya akan lansung ke rumah Mak Wo untuk juga peluk cium dan melepas rindu, rumah Mak Wo tepat didepan rumah kami, bersebrangan.
Saat ini pergantian generasi telah berjalan dan akan terus berlalu. Dari sisi keluarga Papa, kami masih punya orang tua Mak Wo dan Pak Etek yang insya Allah akan menjadikan ikatan hati untuk terus pulang kampung. Paling tidak senyuman orang tua akan tetap mendamaikan hati..
Sehat terus Mak Wo…
Bogor, 5 Jan 2019