Mama dan nak bujang Part-9: Lubang kalam dan Merah Sari..

Eyang, Oma & Zid

22 Oktober 2019 lalu, harusnya mama 66 tahun. Semoga masih bisa berdoa untuk mama paling tidak kalau diukur umur yang sama dengan mama, 63 tahun saat berpulang, ya 24 tahun lagi la. 🙂

Seperti cerita sebelumnya, bahwa kami adik beradik selalu dibawa mama piknik setiap libur sekolah, tidak pernah absen. Walau dengan jualan kerupuk leak, air moka, pelihara ayam dan sebagainya, no matter la.

Ada satu cerita dalam perjalanan yang saya tidak pernah lupa. Mungkin sekitar tahun 1989, perjalanan ke Pekan Baru dalam rangka libur naik kelas, ceritanya hadiah masih bisa juara satu.

Bus Merah Sari, sopir batak, yang kami tumpangi, dari terminal Solok sudah terasa tidak mengenakkan, bus terlambat, beberapa kali mesin mati. Sopir juga teriak-teriak dengan logat batak yang kental. Dalam perjalanan sopir injak gas serasa tak ada rem, baru sampai di danau singkarak dari arah Solok, sudah dua kantong kresek penuh dengan muntah. Sopir tak peduli, gas terus.

Masuk area kelok sembilan bertambah seram. Bisa-bisanya sopir melahap kelok patah itu dengan sekali putar kemudi, biasanya kalau bus besar perlu mundur sekali untuk bisa putus.

Penumpang ,terutama ibu-ibu, termasuk mama rupanya juga sudah tidak tahan. “Pak Sopir, yang kau bawa ini orang, bukan kambing!”, mulai semprot dari bangku belakang. “Iya, kalau kau mau loncat masuk sungai siak tu, loncat aja kau sendiri, jangan bawa2 kami” yang lain menimpali. Tapi sopir tak peduli, “diam sajalah kelen, sudah terlambat kita ini bah” jawab sang sopir.

Tapi saya malah amazing, melihat tikungan yang meliuk-liuk, belum pernah melihat sebelumnya, saya colek mama sambil bilang “ma, jalan e cando ulua, bakelok kelok” dengan logat minang pedalaman yang kental, artinya, “ma, jalannya berkelok kayak ular”. Mama tersenyum sambil pegang erat kursi depan biar tidak kelempar.

Puncaknya, mendekati lobang kelam, dulu ada satu terowongan menembus bukit sekitar 1 km, kalau jalur ke pekan baru dari sumbar melalui payakumbuh, disebut “lobang kalam”, sekarang sudah tenggelam oleh bendungan koto panjang.

Di satu kelokan ke kiri, didepan adalah sungai koto panjang, yang kalau jatuh mungkin perlu berbulan-bulan baru bisa ketemu. Ada lawan bus merah sungai dari arah pekan baru yang juga kencang dan mencuri jalur kanan. Sopir mengerem dengan kencang, menghindari bus lawan, bus merah sari yang kami tumpangi terpaksa pindah jalur ke kanan, “seangin” lagi kata orang minang, kepala bus kelur jalur, meluncur masuk sungai koto panjang. Sudah gelap, mungkin lewat magrib.

Screaming dalam bus, saya terlempar ke punggung kursi depan saya, mungkin kayak difilm-film, pipi kejepit lidah keluar. Mungkin..🙂, anak2 menangis, seisi bus ada yang istigfar, yang “carut pungkang” juga banyak. Mesin mobil mati. Masih untung, masih untung tidak loncat, sopir terdiam agak lama.

Akhirnya setelah kejadian itu, sopir kena mental juga, nyetir mulai normal. Mama tertidur, penumpang lain juga mulai hilang sport jantungnya. Sayup-sayup saya mendengar sopir berbicara dengan penumpang depan, bahwa ngebut tadi karna sudah terlambat, mengejar agar tidak kemalaman sampai di terowongan atau biasa kami sebut “lubang kalam”, rupanya area tersebut jadi momok bagi para sopir jalur Sumbar-Pekanbaru. Banyak bajing loncat dan penyamun didalam terowongan yang tidak ada lampu itu.

Pas masuk lobang kalam, Mama bangun, lalu cerita, “Dulu dari Solok ke Sawah Lunto, bisa pakai kereta api. Disana juga ada satu lobang kalam.” Mama memulai cerita, “Pernah satu kali, bulan puasa mama naik kereta ke sawah lunto dengan kakek. Pas di lobang kalam, tiba-tiba ada semprotan gula onde-onde kena muka orang depan mama, karena gelap, tidak bisa lihat apa-apa, tidak tau siapa yang makan, orang depan mama teriak, hei siapa yang tidak puasa, ada gula onde-onde kena muk saya” lanjut cerita mama. Tidak ada yang mengaku, semua diam.

“Setelah keluar terowongan, rupanya ada bapak-bapak yang pura-pura tidur, tapi di kumisnya ada sisa parutan kelapa yang menempel, angku bilang ke orang yang didepan, tu orang yang makan onde-onde dalam lubang kalam tadi” lanjut mama, di sambung ketawa orang segerbong, “habis la bapak itu kena “cemeeh” tutup mama. Cemeeh itu bahasa minang untuk bullian mungkin.

Kami tertawa..perjalanan menjadi salah satu wahana buat kami makin dekat adek beradik. Dan itu terpatri dalam ingatan yang tidak bisa lupa. Perjalanan seperti ini jugalah yang membuka mata dan hati kami, bahwa dunia itu luas. Manusia itu beragam, bahasa beragam, budaya berbeda. Sehingga kelak bertahun-tahun setelahnya sisa-sisa manfaat perjalanan itu sangat berguna dalam mengarungi kehidupan perantauan, kami memang “gadang di rantau”

#HUT Mama 66th.

Terminal 3 Soeta, 9 Nov 2019.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s