
Liburan semester pertama SMP kelam, tidak bisa kemana-mana, tangan saya yang jatuh dari pohon manggis, menjadi-jadi sakitnya, rupanya belum sempurna kembali ke posisi awal saat Angku melakukan tindakan pertama. Pengobatan hanya di urut-urut kecil. Setiap diurut saya “merarau” kesakitan.
Liburan berakhir, mau tidak mau sekolah harus kembali dimulai, dengan tangan kanan di gendong saya dan mama pun kembali menembus hutan untuk kembali ke Kota Solok. Tidak bisa tambahan libur, karena pengobatan yang dilakukan bukan medis, tidak dapat surat keterangan dokter untuk istirahat.
Mama membawa saya berurut ke tukang urut tuna netra di terminal angkutan kota, Solok, dibelakang bioskop karya dulu, sekarang sudah jadi pertokoan. Diurut pakai anak batang bisang yang dibakar sampai keluar minyaknya. Tukang urut cukup terkenal, mungkin kayak Cimande di Bogor.
Tangan saya diraba-raba, dengan tetap tersenyum “wah ini lah bageser, ba a dak capek ba bao kamari?” dia bertanya dalam bahasa minang logat Solok, saat uda tukang urut awal mula menangani saya.
Dia mulai dengan pijit lembut lengan bawah, sampai ke engsel yang bergeser, saya meringis-ringis menahan sakit, tiba-tiba jempolnya menekan dengan kuat pas posisi engsel lengan atas saya, terdengar jelas bunyinya, krek!, rarau/teriakan saya sampai tidak keluar suara karna menahan sakit, mama hanya bisa melihat sambil menetes air mata.
“Mati se lah abang maaa..” isak saya waktu itu, “tahan bang, dak lamo” mama mencoba menguatkan, tapi tetap dengan linangan air mata. Uda tukang urut masih tetap tersenyum, “dak apo-apo, santai lai cigak” ucapnya, menatap langit-langit, tetap dalam senyuman.
Tapi ajaibnya, setelah itu uda tukang urut minta saya menggerakkan ke tangan ke atas, kebawah, kesegala arah, dan bisa!, memang masih terasa ngilu, tapi sudah bisa di gerakkan dengan di bantu, sebelumnya tangan kanan saya di gendong dengan posisi siku diperut dan telapak tangan posisi arah ke atas, tidak bisa di gerakkan sama sekali, sakit.
“Aaa lah cigak tu ma” uda tukang urut komentar setelah dia tau tangan saya sudah bisa di gerakkan, mama tersenyum lega.
Hampir 3 bulan saya bolak-balik ke uda urut setiap minggu, selama itu pula saya sekolah dengan tangan digendong, tidak bisa mencatat, teman-teman sekelas membantu foto kopi setiap catatan pelajaran. Kalau ada perlu menulis, dengan tangan kiri, bapak/ibu guru memaklumi. Pun begitu dengan latihan Pramuka, saya latihan minggu dengan shall ditangan. Saya memang aktif Pramuka sejak SD dan extrakurikuler yang pertama kali saya daftar saat mulai SMP.
Akhirnya tangan saya bisa sembuh, tapi tidak sempurna, engsel bagian atas tetap tidak duduk dengan pas, akibatnya kalau ditarik kebeakang punggung, tidak bisa melipat habis sampai ke atas, sampai sekarang, kadang kalau kecapean atau beban berlebih, masih terasa ngilu.
Untung saja tidak “urut salido, makin diurut makin bedo”, satu ideom minang yang maknanya untung saja tidak makin parah karena diurut kampung, tidak dilakukan tindakan medis. Secara, pak mantari kampung dan ibu bidan puskesmas mungkin bersyukur, saya tidak dibawa ke beliau, karena trauma masa lalu, yang sampai membuat puskesmas kampung seperti di bom Israel.. đŸ™‚
Saya masih ingat cerahnya wajah mama saat gendongan tangan sudah bisa dibuka dengan tangan saya kembali normal..
Bogor, 5 June 2021