
Cerita kali ini agak bagaimana gitu, untuk di ceritakan. π. Malu..
Saya melihat teman-teman bahkan dari kelas satu sudah ada yang pubertas, baligh bahasa agamanya. Teman-teman perempuan lebih mudah dikenali dengan di tandai, tidak ikut shalat dhuha bersama pak Syafi’i, “lagi tidak shalat”, alasannya. Sedangkan teman laki-laki agak sulit dilihat kasat mata, kecuali bercerita. Tapi kelihatan dengan tampak-tampak mulai suka lain jenis, apalagi saat itu seragam SMP masih celana dongker pendek, jadi terlihat kalau yang bawaannya berbulu, itu tulang kering mulai menghitam. π
Saya akui, termasuk yang terlambat akhil baligh dibanding teman-teman. Bahkan semakin tidak terlihat karena saya memang pemalu, mungkin tepatnya masih merasa rendah diri. Apalagi tak ada laki-laki di keluarga untuk bertanya dan bercerita, jadi semakin tak kentara tanda-tanda pubertasnya, gak mungkin tanyalah ke mama, kok tiba-tiba mimpi dan celana basah, malu kali. π€
Tapi, liburan naik kelas tiga mulai lah tanda pubertas itu hadir, secara fisik ya kaget mimpi tapi “ngompol”, pagi-pagi terpaksa ngendap-ngendap keluar rumah ngacil ke sungai, belum ada kamar mandi waktu itu, keperluan “belakang” semuanya di sungai. Secara yang tampak, mulailah muncul tanda-tanda suka pada lain jenis. Cuma ya itu tadi, pemalu, jangankan berbicara atau memperlihatkan rasa suka bertemu saja tak berani, akhirnya melihat-lihat jauh saja rasanya sudah kebulan π€. Siapa saja itu? Biarlah jadi misteri π.
Kebiasaan setiap libur selalu kembali ke surau, sudah di mahfum sama mama, waktu itu yang masih aktif surau pangka rangguang, surau yang dulu di prakarsai oleh adiak angku, mengulang kembali hafalan surat-surat pendek, belajar tajwid, dengan telapak tangan di buka ke guru, kalau salah, “plak”, lidi membuat garis merah π€. Tapi libur naik kelas tiga ini agak berbeda, tambah semangat ke surau gitu. π. Belum magrib sudah rapi “ke surau ya ma !” Sambil sedikit teriak ke mama yang lagi di dapur. “Ya, hati-hati” masih terngiang mama jawab waktu itu. Adek-adek heran, kok abang rajin bener, belum magrib udah ke surau. Ya biasanya kami ngaji setelah magrib, kebiasaan waktu itu yang alhamdulillah sekarang sudah tidak ada, walaupun ada surau, ada masjid, sholatnya kadang masih di atas batu di Lubuk Pulau. π, dipinggir sungai.
Sepertinya cepat pergi ngaji inilah satu tanda awal pubertas itu muncul, pokoknya selama liburan naik kelas tiga ke surau dan lewati seberang jembatan rasanya gimana gitu. Setelah liburan selesai, mulai lagi kegiatan rutin, tapi rasa pas libur naik kelas itu berlanjut. Walaupun tak bisa di pungkiri, ada juga curi-curi pandang adek kelas dua yang ruang kelasnya dibalik ruang kepala sekolah, mirror dari kelas saya 3A yang sebelah kiri, kelas dia sebelah kanan, tapi sedihnya, saya tau nama dia setelah bekerja di jakarta, 8 tahun setelah tamat, kebetulan ada teman SMP yang dulu sekelas sama dia, itulah yang namanya bertepuk sebelah kelasπ.
Ada juga adek pramuka, yang jadi bintang memang waktu itu, ya kalau ini mungkin seperti punguk merindukan bulan, sakit leher lihat keatas terus.π. Tapi herannya ada juga waktu itu teman cewek, yang waktu tingkat satu sekelas sepertinya teropsesi bener dengan saya, kalau yang seangkatan saya pasti tau film hongkong, bo bo ho, ada tu, satu teman ceweknya yang sama-sama berisi seperti dia, berambut potong dora yang selalu ngejar, sampai bo bo ho enek, padahal bo bo ho lagi suka bener temannya yang cantik, yang juga tidak lihat dia, ya kira-kita begitulah gambarannya π.
Tapi yang paling terasa perubahan setelah akhil baligh, adalah cara fikir akan masa depan. Naik kelas tiga ini saya serasa sudah kenal betul bagaimana diri, keluarga dan kemampun mama untuk mengantarkan saya dan adek-adek ke pendidikan yang di cita-citakan, saya sudah menutup jalur mengejar cita-cita melalui SMA saat naik kelas tiga SMP. Bukan karena ketidak mampuan otak, tapi lebih ke cara pandang dari sisi ekonomi. Saya waktu itu sudah berfikir, kami semua adik beradik harus sekolah, saya tidak mau ada pilihan dan opsi demi satu sekolah yang lain tidak. Sementara saat itu saya sudah benar-benar tau kemampuan mama dari sisi ekonomi, SMP di solok membuka mata saya, kami tidak lagi seperti di kampung, apalagi adek kedua saya juga mulai MTS di Solok, walau tidak kekurangan dari sisi makan, karena mama juga bertani, untuk makan cukup lah. Mama memang PNS, guru, tapi di SMP lah saya tau sisa gaji mama hanya 300rb perbulan. Disaat itu teman saya sudah dikasih belanja 100-200 rb per bulan. Saya? Berapa belanja di SMP tidak ingat, yang saya tau hanya bisa beli nasi goreng 500 rupiah untuk sarapan pagi.
Karena itu, naik kelas tiga, saya sudah tetapkan, tamat SMP saya akan ke STM, kalau mungkin sambil sekolah bisa bekerja. Dan mulailah mencari referensi sekolah kejuruan di sumbar, STM, untuk melanjutkan sekolah, informasi yang masuk saat itu kalau tidak STM Bukit tinggi atau STM Padang, STM solok tidak masuk list saat itu, karena seringnya berita tawuran, mereka lakonnya π.
Pubertas buat saya masa di mana tidak saja gejolak yang berhubungan dengan biologis fisik yang muncul, tapi lebih pada semakin matangnya cara fikir dan cara pandang akan cita cita dan masa depan, dengan sangat sadar akan kemampuan ekonomi mama. Kelak, sepanjang hidup saya sampai masuk 42 tahun ini, apapun yang saya angankan sejak SMP, alhamdulillah yang terjadi sesuai dengan itu, bukti “Allah SWT itu menurut prasangka hambanya”.
Bogor, 26 Feb 2023, #pubertas