Tiba-tiba rindu menggebu akan rimbunnya pohon pinus dan segarnya alam gunung menyiksa saya pagi sabtu kemaren, teringat satu curug di Area Wisata Gunung Salak Endah yang belum sempat terkunjungi…. Curug Cigamea, air terjun 2 tngkat terbesar di beberapa pilihan curug di area wisata yang di kelola oleh Perhutani ini… yang menurut info yang didapat sesuai dengan persayaratan, bisa diakses kendaraan dan jalur ke lokasi bisa untuk keluarga.. cocok… 🙂
Jam 11 start dari Taman Cimanggu, menuju arah IPB Dramaga, lalu lintas lumayan lancar, biasanya perlu perjuangan untuk tembus area yang terkenal dengan jalan seribu angkot ini, pas waktu zuhur di masjid Al-ikhlas Ciampea, kondisi jalan sudah cukup membaik dari pada kunjungan terakhir tahun lalu, lobang-lobang akibat air hujan sudah mulai di tambal dan cukup nyaman di lewati kendaraan rendah..
Jam 1 siang mulai masuk gerbang taman wisata gunung salak endah, tarif masuk masih sama untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak, cukup bayar 20ribu saja, buka kaca dan aroma pohon pinus lansung menyerbak, tapi…. tetap tetap tidak sejuk, mungkin kondisi cuaca kemarau saat ini memang cukup terasa..

Curug Cigamea adalah curug terakhir dari beberapa Curug yang ada di area wisata ini, posisinya setelah DODIKLATPUR TNI AD, saya baru tau setelah melewati Curug Ngumpet, rupanya perkampungan penduduk dan vila-vila bagus tersebar di sini sampai ke pintu masuk Curug Cigamea, bagus juga untuk alternatif liburan dan meeting dibanding ke wilayah puncak yang macetnya ampun-ampunan, parkiran lumayan luas, tarif 10ribu untuk mobil dan 5ribu untuk motor, dari parkiran ini sudah terlihat curug 2 tingkat di ujung lembah…
Masuk ke area Curug bayar lagi total 20 ribu untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak, sesuai informasi yang sudah dikumpulkan, seribu anak tangga menuju lokasi curug menunggu.. 🙂 kondisi jalur dan undakan anak tangga dari paving block cukup baik dan bersih, cuma kepikiran, wah pulangnya lumayan neh… 🙂 di kiri kanan jalur banyak kedai-kedai yang berjualan suvenir dan makanan, termasuk terapi ikan di kolam khusus, pejual gorengan dan makanan juga tersebar, mungkin karena bukan waktu liburan, pengunjung tidak terlalu rame..
Masuk area curug, yang sebenarnya indah, tapi sedikit terhalang keindahannya dikarenakan banyaknya kedai-kedai kopi yang berdiri bahkan sampai ke bibir curug, lokasi bunderan yang mungkin disiapkan untuk foto-foto dulunya…kini terhalang atap kedai kopi… fasiltas umum diarea curug juga cukup lengkap, sebelah barat atau searah dengan aliran sungai tersedia toilet dan mushalla, juga fasilitas konsumsi, berlimpah ruah dengan harga sangat sesuai kantong…
but what ever, beningnya air gunung membuat 2 krucil2 tidak sabar segera buka baju, padahal tadinya udah janji tidak akan berenang… 🙂
Ada 2 air terjun, sebelah kanan berupa air jatuh di dinding tebing tapi bukan sungai, jadi debitnya kecil dan hanya membuat seperti efek gerimis..sejuk… dengan tinggi tebih sekitar 50 m, sedangkan air terjun utama, kalau dari pintu masuk terlihat 2 tingkat namun dari dasar Curug hanya satu tingkat yang terlihat, ini aliran sungai dari gunung salak, perkiraan tinggi sekitar 60 m, karena kemarau debit air tidak begitu besar, area berbatuan mengingatkan saya akan air terjun di kampung saya tercinta, yang kami sebut “timbulun jodoh”, di Minang, kami sebut air terjun dengan TIMBULUN… ah jadi pengen pulang.. 🙂
Air aliran curug, sangat bening dan dingin.. sejuk, cerukan-cerukan atau dalam bahasa kami. “lubuak” yang tidak dalam tersebar disepanjang aliran sampai batas aman yang diberi tali oleh pengelola, bagus dan aman untuk berendam anak-anak, batu-batu besar yang menjadi ciri sungai aliran pegunungan memperindah area ini, tapi sudah di booking satu-satu oleh pengunjung.. 🙂 hasrat yang menggebu akan suasana alam… tercapai sudah, cukup menentramkan… sekali-sekali kembali ke alam bagi kita yang memang berasal dari “alam kampung” bisa mengembalikan diri dan jiwa ini…bahwa asal kita dari sini… 🙂
Setelah ashar, mulai perjuangan pulang, teringat ribuan anak tangga yang akan dilalui perlu asupan memadai.. bakwan hangat2 jadi modal.. :), teknik pendakian yang di dapat turun temurun dari eyang secara resmi juga diturunkan ke generasi ke empat :), teknik “maonjak”, memindahkan beban ke sendi lutut bukan di otot betis dan paha 🙂 membuat perjalanan pulang jadi sedikit ringan.. 🙂
Tapi tiba2 perjalanan terhenti…. jalur di hadang oleh puluhan monyet ekor panjang yang bergelantungan di pohon dan sepanjang jalur, si adek lansung terdiam dan minta gendong…. si mama yang semangat jalan duluan, eh malah lari lagi ke belakang… 🙂 si uni apalagi…. 🙂 dan memang inilah salah satu daya tarik area ini, monyet ekor panjang, kera, atau bahasa sumateranya “karo” bersahabat dengan alam dan manusia disini, para penjaga kedai hanya mengingatkan agar makanan dimasukkan ke tas, kalau tidak nanti di rebut para penghadang ini…. dan benar saja “disogok” dengan bakwan hangat…mereka lansung jadi tontonan yang lucu.. :), bahkan ada yang dengan riang gembiran bawa teh pucuk ke puncak pohon setelah berhasil meneror para pejalan kaki.. 🙂 dan perjalanan setelah penghadangan ini lansung jadi full speed…takut di kejar.. 🙂
Untuk jalur pulang kami pilih jalur turun arah ke ciampea, tidak kembali ke atas sebagaimana jalur datang tadinya, rupanya kondisi jalan jalur ini jauh lebih baik dari pada jalur atas, aspal beton licin sampai nanti masuk lagi ke jalan raya Ciampea…
Liburan murah ke alam asri… bagus dijadikan pilihan.. 🙂
This site definitely has all of the information I needed about this
subject and didn’t know who to ask.