
Beberapa waktu ini, banyak juga kawan dan sodara yang bilang terang-terangan “jadi buzzer politik bro?”, “Bro kampret ya?, Status FBnya data2 berkebalikan dari propaganda petahana aja..tapi gak pernah share apa baik calon kampretnya, adil dong..” 😊 atau bahkan “abang gak asyik, sejak jadi politiker (sebutan bagi orang sok2 jadi politisi)sudah jarang posting tentang counter liberalisme, sekularisme,aliran sesat, cerita jalan2, yg jadi roh statusnya dulu..”😊, bahkan ada yang mungkin sudah tak tahan berdebat bilang “jangan sok suci, jangan sok hebat, sok pintar” 😊
Biasanya yang bicara lansung adalah kawan-kawan yang memang dari dulu tidak ada batasan komunikasi, dekat. Tapi banyak juga yang menghindar secara silent, diam-diam, mungkin tetap mengikuti tapi menahan diri untuk ikut-ikutan politik riuh rendah seperti saat ini.
Di tulisan ini saya coba menjelasan secara ringkas kenapa saya pribadi akhirnya membenamkan diri ikut serta dalam riuh rendah politik praktis ini, walaupun sebenarnya tidak ada hubungan lansung dengan profesi dan jalan hidup saat ini. Tapi, basic dari pelajar sampai mahasiswalah yang menggerakkan hati untuk partisipasi.
Saya dari pelajar sampai mahasiswa aktif berorganisasi, walau cuma kelas kampung, paling banter tingkat kampus dan provinsi. Jalan itu sedikit banyak mempengaruhi pola fikir saya khususnya yang berhubungan dengan politik, bukan hanya politik praktis dalam pengertian sempit tapi arti politik secara luas. Politik itu dalam pemahaman saya adalah cara, untuk mendapatkan apa yang kita mau atau apa yang kita orang mau mengerjakannya untuk kita, secara sukarela.
Semua organisasi pasti ada dimanika politiknya, pilih memilih, diskusi, debat, rapat-rapat, negosiasi, pidato. Semua aktifitas itu adalah politik. Bedanya hanya basis atau dasar kemauan kita untuk berpolitik. Saya pribadi berbasis organisasi Pramuka dan organisasi intra sekolah/kampus (OSIS, Himpunan Mahasiswa), baru dekat-dekat ini mengaktifkan diri dibeberapa organisasi kajian keislaman, anti lebarisme, sekularisme, pemberdayaan ummat dll. MIUMI, Insist, AQL, dll. Yang sedikit banyak memberikan pencerahan kepada saya sebagai ummat islam dalam berbangsa dan bernegara posisi kita seperti apa,dari mana, sedang dimana dan hendak kemana.
Saya pribadi aktif memanfaatkan dunia internet dan medsos, sejak warnet masuk dan menjamur di kota padang tahun 2000an, awal kuliah. Belum ada fb, dulu friendster, yahoogroup dan web. Dulu saya develop dan maintain web dkd-sumbar.cjb.net, pramukaunand.com. Dengan internet inilah informasi dan silaturahmi jadi terbuka lebar.
Jadi, kenapa mencemplungkan diri ke riuh rendah politik praktis di medsos ini dan kenapa di pihak oposisi?.
Sejujurnya, bermula dari pilkada DKI 2012, saya sudah tidak KTP DKI waktu itu (2009 saya pindah ke Bogor). Awalnya samar-samar saya dengar kabar tentang seorang walikota dari Solo yang di gembor-gemborkan dan hingar bingar di media online, walikota terbaik, dua periode sukses memimpin kota Solo. Bahkan walikota terbaik dunia. Saya tertarik juga, akhirnya turut serta mencari-cari siapa dia ini.
Untuk kepemimpinan politik, saya membiasakan diri untuk melihat secara lebih luas, bukan cuma pribadi pemimpin tersebut, kapasitas pribadi penting, tapi yang paling penting adalah siapa yang disekeliling nya dan siapa yang mengendorse dia. Waktu itu dari pemberitaan media saya temukan fakta dan fakta itu semua menguatkan pemikiran saya bahwa secara pribadi beliau memang orang baik, selayaknya banyak orang baik di negara ini, tetapi dari sisi kepemimpinan dan kapasitas diri beliau menurut saya “dikarbit” dan tidak “orisinil” untuk dijadikan pemimpin. Jujur, itulah kesimpulan saya waktu itu. Saya melihat media dan orang-orang yang mendewakan dia adalah mereka yang selama ini berseberangan dengan jalan keummatan yang saya ikuti dan pahami. Termasuk 02 yang kini terlihat saya dipihaknya.. 😊
Dan setelah itu kita semua tau bagaimana kondisi perpecahan bangsa ini. JASMEV buzzer yang mereka inisiasi mengacak-nagacak akal sehat dan hati sehat publik melalui medsos. Berita bohong fitnah bertebaran dimana-mana untuk mengendorse “petugas partai” mereka. Saat itu mereka belum ada lawan, berkuasa dan mengacau sendiri. Siapapun yang bertentangan dibully habis, tidak terkecuali ormas islam yang dari lama memang menentang aliran ini, FPI, FUI, bahkan muhammadiyah. Walaupun akhirnya terbuka bahwa mereka memang di bayar untuk itu.
Dan kita tau, akhirnya menang menjadi penguasa Ibu Kota. Apa yang saya ingat dan ini menguatkan saya bahwa bapak kita ini tidak “orisinil”. Awal duduk jadi Gubernur DKI, yang pertama kali dilakukan adalah, memutuskan pembelian Busway dari China, dan kita juga tau saban minggu ada berita busway terbakar, patah as dan macam-macam kejadian lain yang diakibatkan oleh kualitas bus. Akhirnya kepala perhubungan DKI jadi tumbal. Dan “beliau” tetap bersih.
Disisi lain buzzer Jasmev yang komandannya setelah itu jadi komisaris makin menjadi. Tapi mulai muncul riak-riak balasan dari para penggiat medsos muslim, setiap berita palsu dan fitnah dari jasmev di counter dengan berita aktual, bahkan kondisi aktual lapangan. Tidak terelakkan pertarungan di media sosial makin rame. Apalagi setelah akhirnya beliau memutuskan meninggalkan kursi gubernur dan menjadi penantang bagi yang dulu membawanya ke ibu kota. Meninggalkan semua janji dan komitmen. Indonesia di medsos terbelah hebat.
Bahkan perpecahan mulai masuk ke dunia nyata setelah pengganti beliau di Jakarta menggunakan cara memanage perusahaan swasta mengelola Ibukota. Buzzer makin menggila. Penggantinya menata ibukota dari sisi kebersihan dan keindahan, birokrat dikelola layaknya karyawan perusahaan, maki2an adalah lumrah. Kalau hasil bagus itu karena “saya”, kalau tidak bagus itu anak buah yang tidak kompeten, maki2. Sungai-sungai di keruk banjir berkurang tapi masyarakat miskin di gusur. Jakarta lebih indah, pelayanan masyarakat mudah, tapi dilain sisi tanah ibukota dilelang, bahkan ada tanah sendiri yang dibeli. DKI rugi ratusan triliun, audit BPK menkorfirmasi itu. Kehidupan sosial terbelah, bahkan sang gubernur pernah ketakutan masuk ke salah satu RT di wilayahnya, karena ditentang warganya sendiri.
Sampai akhir puncaknya, sang pengganti mengganggu ke hal paling sensitif mayoritas manusia di Nusantara ini. Agama. Pergerakan didunia nyata akhirnya benar-benar nyata. Jutaan orang berkumpul berjilid2. Baru didengarkan. Dan tumbang. Saat ini DKI kembali berbenah.
Panjang juga.. 😊
Sekarang masuk ke alasan kenapa saya menempatkan diri disisi oposisi, oposisi dari propaganda pemerintah yang memang sudah sibuk bekerja tapi hasilnya tak seindah “sosialisasi” berlebihan.
Akhirnya ditengah eforia masyarakat melengganglah Mantan Walikota Solo dan Mantan Gubernur Jakarta menjadi penguasa tertinggi Indonesia. Puluhan janji berhasil mempesona rakyat ini. Kesederhanaan menjadi antitesa pesaingnya menjadi magnet masyarakat banyak. Media yg dulu kritis, kini jadi humas penguasa. Apalagi media yang dari sejarahnya menjadi memang oposisi terhadap umat islam politik, mendapat tempat untuk makin juwana.
Ekonomi memang tidak buruk, tapi jauh dari gembar gembor dan janji-janji, bahkan mencetak rekor Minus export over import sepanjang Republik ini berdiri. Nilai rupiah makin tak bermakna. Tapi propagandanya, ekonomi baik. Tidak berkembangnya ekonomi sangat dirasakan oleh kami-kami disektor jasa yang memang bisa sejahtera kalau kondisi ekonomi baik. Mulai tahun 2014 penjualan makin turun sampai sekarang, faktanya memang daya beli masyarakat habis karena harga listrik naik 100%, BBM sudah defakto tidak ada lagi yang jual bersubsidi, semua harga pasar.
De-Industrialisasi fakta terjadi, tetapi dialibi bahwa dunia berubah. Mangga Dua Sepi dibilang karena Belanja Online meningkat. Dadahal data mengungkapkan baru 1.8% kapasitas yunikon dan dekakon ini dalam ekonomi nasional, memang tumbuh terus seiring dengan perkembangan teknologi.
Utang naik dua kali lipat, walau menurut menkeu masih wajar dan dikelola dengan prudent. Dulu di propagandakan utang itu produktif untuk infrastruktur, tetapi setelah data APBN tersebar, taulah rakyat bahwa porsi paling besar adalah untuk bayar utang dan belanja pegawai. Infra struktur hanya nomor kesekian. Juga utang BUMN yang luar biasa setara dengan utang pemerintah. Bagaimana tidak, BUMN ditugaskan untuk pembangunan infrastruktur, tapi tidak diberi dana, dipaksa cari dana sendiri.
Infrastruktur jadi program unggulan, begitu “sosialisasinya”. Jalan tol di jual sebagai masterpiece tapi disaat truk-truk logistik tidak mau masuk tol karena mahal. Tidak ada respon yang berarti.
Katanya 191 km jalan desa dibangun, kalau tidak percaya hitung sendiri, begitu katanya. Setelah dicek data BPS, rupanya sangat jauh dan kalah jauh dari jumlah jalan yang dibangun di masa SBY. Mungkin kalau jujur saja, misalnya jalan memang di bangun pemerintahan sebelumnya tapi kami yang aspal, perbaikan dan perawatan, mungkin tanggapan akan berbeda dari pada klaim-klaim tapi salah data.
Freeport berhasil dikuasai, begitu report keberhasilan berminggu-minggu. Tapi pada saat freeport bilang tidak akan kasih deviden selama dua tahun dan kewajiban membayar tagihan kerusakan lingkungan 185T juga menjadi tanggung jawab pemilik saham terbesar. Sepertinya pada diam.
Propagandanya lagi kita sudah menguasai kembali ladang-ladang minyak yang dulu dikuasai asing. Bagi yang tau pasti akan senyum-senyum mesem. Karena memang ditahun ini banyak sekali konsesi ladang-landang minyak yang habis masa kontraknya, ada atau tidak ada pemerintah itu juga akan otomatis kembali ke Negara. Tapi patut di hargai pemerintah memberikan konsesi ke Pertamina.
Ditambah lagi angka-angka yang tidak presisi yang disampaikan pada saat Debat Capres, makin membuka dan mekonfirmasi bahwa bapak ini memang tidak “orosinil”, kalau menurut Fahri Hamzah “isi kepalanya ditulis orang lain”, keras ya…tapi itu terkonfimasi menurut saya.
Secara objektif berdasarkan data, ketidak jujuran itulah yang mengakibatkan saya beroposisi terhadap “sosialisasi” kalau tidak boleh disebut propaganda keberhasilan pemerintah. Kami yang biasa memutuskan sesuatu berdasarkan data merasa bersedih hati kalau kejujuran data pun sudah di politiskan. Padahal data is data. Bahkan kalau seandainya jujur-jujur saja, akui kekurangan, positioning ini bukan tak mungkin berubah.
Mengutip dari pak Rizal Ramli “kalau belum berhasil, bilang saja belum tapi terangkan ke masyarakat kita menuju ke sana, tapi faktanya, keberhasilan di gembar gemborkan padahal aktualnya arahnya bertolak belakang, sampai kapanpun tidak aka tercapai”.
Selain alasan objektif berdasar data, juga ada alasan subjectif yang berdasarkan rasa dan perasaan, apa itu?
Seperti yang saya singgung diatas, bahwa yang membentuk pemikiran saya tentang Islam dan Politik adalah kajian-kajian tentang sejarah bangsa ini dari orang-orang dan kelompok yang kalau ditarik silsilahnya ke awal bangsa ini berdiri, akan diketahui bahwa mereka merupakan anak ideologis dari ulama-ulama yang berjuang secara politis, dan terus berjuang sesuai dengan jalan itu.
Kita bisa pelajari bagaimana M Natsir, Mr. Kasman Singodimejo dari muhammdiyah, Ki Bagus Hadikusumo, dan Prof. KH Abdul KaharMudzakkir berpolitik, berislam dan bernegara. Bagaimana nilai-nilai islam dengan cerdas di masukkan kedalam dasar dan UUD negara tercinta ini oleh Founding Father yang sebagian besar adalah Ulama dan Politisi, kalau kita membaca risalah sidang-sidang BPUPKI dalam menentukan dasar Negara dan UUD, bisa kita temui pergualatan tentang Islam dalam negara sangat mendasar dan mereka berhasil menempatkan Islam dalam negara clear dan jelas dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dan, nilai-nilai yang sudah jelas tersebut itu tiba-tiba kembali di otak-atik sejak pemerintahan ini berkuasa. Timbul kembali ideom-ideom “Saya Indonesia Saya Pancasila” sebagai cara yang dipakai untuk mendiskreditkan Umat Islam yang berpolitik dan tidak cocok dengan mereka. “Pisahkan Agama dari Politik”, diucapkan lansung oleh orang nomor satu dibegeri ini. Pernyataan yang a-sejarah, tidak mengerti Pancasila dan UUD 1945. Diterbitkannya Perpu Ormas dan digunakan untuk menyerang ormas islam. Tuduhan Radikal, Intoleran Anti Kebhinnekaan dengan ringan mereka sematkan pada Umat Islam yang berani bersuara sesuai dengan keyakinan agamanya, sementara yang mengotal atik Agama bebas beralibi atas dasar kebebasan perpendapat.
Buzzer-buzzer makin menjadi, bagaimana fitnah dan bullian kepada tokoh-tokoh dan ulama yang dihormati oleh umat dengan ringan dibiarkan. Habib Rizieq misalnya, memang sangat keras dan tegas pada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip beliau dan terbukti sampai saat ini beliau di cekal untuk tidak bisa kembali ke Negara Tercinta.
Kata Aa Gym di salah TV Nasional tentang gerakan 212 “memang mungkin tidak, tapi perasaan kami merasakan itu, kepedihan hati kemana mau mengungkapkannya, kami bukan teroris, kami bukan radikal kami cinta negeri ini, ini panggilan hati yang ingin merasakan keadilan.”
Itulah rasa. kita tidak perlu bedepat tentang rasa. Buya Gusrizal Gazahar berkata:
“Ada yang berkata, “kami tak merasakan Islam terancam”. Saya tak perlu membantah pernyataan itu karena perasaan itu sangat bergantung dengan perhatian. Selama ini perhatian kita berbeda sehingga perasaan kita juga berlain. Bagi saya, melenggangnya syi’ah, bersoraknya Isnus, bergembiranya SIPILIS, pongahnya LGBT, Beraninya anti syari’at, munculnya komunisme, nyamannya aliran-aliran sesat, merupakan ancaman terhadap Islam dan umat Islam. Kalau tuan-tuan tetap tidak merasa, silahkan ! Walaupun sendiri, selagi nyawa dikandung badan, yang haq akan disebut jua ! Karena, Daripada hidup berputih mata, biarlah mati perputih tulang. Selagi lidah masih bisa bicara, tangan bisa menggapai dan kaki bisa melangkah, tak akan terputus asa berharap rahmat Allah swt. Setidaknya, Dengan itu, ringan jua lah hendaknya pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah swt.”
Jadi, sekiranya terjawab pertanyaan sahabat-sahabat tentang kenapa saya beroposisi. Objektif, data saja mereka politiskan apalagi kita. Sujektif, dasar negara saja mereka persalahkan apalagi rakyatnya.
Juga tidak ada alasan saya untuk memuji dan mengagung-agungkan pasangan yang lain, karena mereka belum terbukti dengan berpegang eratnya pada janji-janji mereka, belum terbukti bahwa mereka bisa membawa perbaikan ekonomi, belum terbukti mereka baik.
Tapi setidaknya dari sisi kapasitas dan melihat siapa yang ada disekelilingnya pilihan terbaik dari yang dua bisalah ke nomor dua. 🙂
Taman Cimanggu, 7 Mar 2019