Kembali ke Jogja..

Beberapa tahun lalu, karna ultimatum Eyang, akhirnya nyetir 24 jam non stop di jabanin, Bogor-Jogja. Ultah perkawinan yang direncanakan di Malioboro, waktu itu kacau, sampai Jogja sopir tepar.

Akhirnya bisa kembali tahun ini. Jogja makin merindu, management pariwisata membuat wisatawatan semua warna kulit jadi nyaman, termasuk kami. Anak-anak masih libur sampai minggu ke-2 July, Bunda anak-anak (adik saya no.2) dan suami kebetulan juga liburan, Jogja jadi pilihan kami menghabiskan jatah liburan tahun ini.

Sabtu Malam, kami istiarahat di Hotel Griya Nendra, daerah Sleman, mungkin lebih cocok disebut wisma, bersih, bagus dan yang terpenting ada kolam renang, request uni-uni yang harus dipenuhi. Recommanded, harga juga ekonomis.

Alamat Griya Nendra Hotel:
Jl. Kranji No.89, Wonýorejo, Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kabupaten Slemýýan, Daerah Istimewa Yogyakarta 55581
(0274) 4464032
https://maps.app.goo.gl/KUUi8isVXV7tJfdf9

Borobudur jadi destinasi pertama untuk di kunjungi, sekalian napak tilas dan mengulang kenangan Eyang dan Oma beberapa tahun lalu. Parkir penuh, mungkin karena hari minggu dan libur sekolah, parkir diluar tarif Rp. 20.000, tapi nyaman karena menjadi tarif resmi denga bukti tanda parkir, pelayanan oleh pemuda setempat juga ramah.

Management wisata di daerah candi juga makin bagus, semua terakomodasi, termasuk pedagang kecil dan asongan diberi tempat tersendiri. Tips saja, kalau mau belanja, seperti topi, kacamata, minuman atau sewa payung, beli/sewa didekat pintu gerbang, karna makin dekat gerbang harga makin pas. Di area parkiran, sewa payung 10rb, di gerbang 5rb, tongsis juga beda 5rb.

Karcis masuk di bedakan antara wisatawan lokal dan asing, lokal hanya 40rb/orang. Tidak boleh bawa makanan ke dalam area candi, hanya boleh bawa minum. Semua bawaan terlarang akan diminta tinggalkan dan dititipkan diarea penitipan, yang bisa diambil kembali, gratis.

Dulu, mobil/kereta transport dari shelter gerbang ke pintu candi masih gratis, sekarang bayar, kalau kereta 10rb, tayo (semacam bus) 15 rb/orang, mobil golf 20 rb/orang dan andong 100rb/andong. Dulu sebelum masuk candi semua pengunjung juga di wajibkan pakai sarung batik, sekarang hanya yang berpakaian tidak menutup lutut saja yang disarankan pakai sarung.

Panas menggigit, Bunda, Pa Ido (panggilan anak-anak ke suami adik saya) dan anak2 naik ke puncak Borobudur, untuk hunting foto dan selfi tentunya. Saya dan istri “menyudut” ngadem simpan tenaga. Rame.

Balik dari candi ke parkiran, kami coba naik Andong, tarif 100rb, resmi dan dikelola profesional. Rupanya jalurnya lewat kampung sekitar candi. Ada juga semacam rest area andong-andong lengkap dengan kantin, toilet dan mushalla, andong menunggu maksimal 10 menit, gratis wedang jahe. Kolaborasi yang yang apik, semua stakeholder terkena dampak positif dari sisi ekonomi. Jempol.

Cuma agak salah strategi dari Borobudur ke hotel kedua. Karena macet kami pilih lewat jalur alternatif melalui pegunungan, rupanya tidak ada rumah makan yang representatif, akibatnya terpaksa menahan lapar sekitar satu jam sampai ke RM Duta Minang di Jl. Sudirman. Ada yang beda juga rupanya RM minang di jogja, tidak biasa dengan dihidang, kalau mau cepat pakai rames. Jadi tambah lagi bersabar menunggu hidangan.

Hari ke-2 kami istirahat di Hotel Prima In, dekat dengan Malioboro dan stasiun jogja. Selalu yang pertama dan yang paling menarik buat anak-anak adalah berenang. Sampai magrib mereka puas sebelum jalan ke Malioboro.

Ini kali pertama buat saya ke Malioboro yang tersohor itu, malam-malam. Memang surganya bagi mak-mak, akhirnya “menyudut” lagi menikmati padatnya Malioboro minggu malam sembari menunggu ibu-ibu hunting segala sesuatunya. Dan ditutup dengan lesehan depan kantor DPRD Jogja, menu burung dara cukup menggoda.

Hari ke-dua, dimulai dari pasar Beringharjo, dan… “menyudut” lagi..😉. Menunggu ibu ibu memenuhi dahaga di pasar tradisional yang sudah berumur ratusan tahun itu, saya mencoba Jogjabike, rental sepeda dengan aplikasi Inabike disepanjang Malioboro. TopUp 10rb untuk 2 jam rental. Rupanya kalau siang, lesehan tadi malam berubah jadi warung pinggir jalan, menu pun berganti jadi minuman dan makanan ringan.

Rupanya pas didepan pasar Beringharjo, ada masjid unik, Masjid Siti Djirzanah, warna biru, sepetinya wakaf dari pemilik bangunan, diresmikan tahun 2018 lalu. Jadi tambahan destinasi wisata religi juga. Setelah zuhur, destinasi selanjutnya adalah Prambanan. Request Bunda tetap RM Duta Minang untuk memastikan energi keliling prambanan tersedia. Sudah belajar, tidak dihidang tapi sistem rames, lebih cepat dan lebih ekonomis taunya.

Prambanan juga sudah dikelola profesional, selayaknya Borobudur. Tiket juga sama untuk domestik 40rb. Sebagai sopir, saya lagi-lagi..”menyudut”.. 😉, Mencari sudut yang pas untuk meluruskan sendi-sendi, sekalian menemani anak bujang re-charge energynya. Puas menunggu yang lagi hunting foto, tepat jam 5 sore, perjalanan balik ke Bogor pun dimulai.

Satuhal yang sangat appreciated adalah semua jalan di jogja, dari dulu sampai sekaranag, jalannya bagus, even jalan kampung, gang kecil, semua beraspal licin. Sangat membantu mood wisatawan yang kadang lebih memilih jalan-jalan desa untuk menghindari macetnya jalan utama. Kondisi ini mungkin sama dengan di Bali, semua jalan terawat dan kondisi bagus.

Jogja selalu membuat rindu.

Prambanan, 2 July 2019

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s