Mama dan nak bujang Part-18: literasi karna mama

Trio GDR

Saya mulai bisa membaca kelas 2 SD, kalau dikampung kami itu termasuk sudah luar biasa karena kami tidak menjalani pendidikan pra SD, tidak ada TK dikampung kami tahun 1990an. Bahkan sarana pendidikan hanya sampai SD dan satu-satunya.

Sejak bisa membaca, hasrat literasi menggebu dan tak terbendung, syukurnya itu didukung penuh oleh mama dengan mensuplai berbagai macam buku dan majalah untuk saya baca, karena sebagai guru kelas rendah mama punya “kekuasaan” lebih terhadap buku-buku inpres dan buku bantuan pemerintah saat itu.

Setiap buku baru yang diberikan ke sekolah, mama selalu membawa kerumah dulu sebelum dimasukkan ke perpustakaan. Saya pun membaca itu semua dan setelah buku itu masuk ke perpustakaan, ada teman-teman yang membaca, saya sudah bisa menceritakan. Kadang ada teman yang megang bukunya tapi minta diceritakan ke saya apa isinya.

Suatu masa yang exciting rasanya kalau mama memberi tahu akan ada buku baru untuk sekolah, menunggu buku-buku itu sampai kerumah layaknya menunggu sesuatu yang istimewa.

Berbagai macam buku yang ada saat itu, mulai dari dongeng cerita anak, teknologi untuk anak, sejarah nabi, sejarah pahlawan, buku-buku cerita rakyat sampai ke majalah bobo. Tentu dengan keterbatasan yang ada di kampung kami saat itu, perlu perjuangan berat membawa buku-buku itu sampai ke tangan kami , tracking naik gunung turun lurah jalan kaki 8 jam perjalanan.

Dari buku-buku yang sempat saja baca, ada beberapa buku yang isinya terpatri dalam ingatan saya, sampai sekarang.

Pernah ada sebuah buku cerita, judulnya saya lupa, menceritakan seorang anak di sebuah kampung didalam masjid akan melaksanakan shalat jumat, tetapi rupanya khotib yang sudah direncanakan pada saat itu berhalangan hadir, pengurus masjid sampai akan membatalkan shalat jumat karena tidak ada jamaah yang bisa menggantikan. Tiba-tiba dimasa injure time, berdiri seorang pemuda klimis, bercelana jeans berambut sedikit gondrong, berpakaian kemeja biasa, menyatakan kesiapannya.

Jamaah ribut, karena memang tidak lazim, biasanya yang menjadi khotib berpenampilan layaknya ustad, pakai peci, baju muslim, dll. Tetapi karena tidak ada pilihan, pengurus masjid memberikan ijin. Rupanya khotbahnya luar biasa, bahasa arab yang fasih, kadang di selingi bahasa inggris yang juga baik, runut dan runtut dalam menjabarkan isi khotbah, jamaah berdecak kagum dan puas.

Si anak yang jadi lakon dalam cerita ini penasaran, selesai jumat mendatangi pemuda tersebut, untuk bertanya latar belakangnya. Pemuda tersebut menceritakan dia lulusan pesantren Modern Gontor Darussalam di Ponorogo, akhirnya si anak lakon buku ini jadi bercita-cita untuk masuk pesantren tersebut.

Saya baca buku ini perkiraan kelas 3 SD, sekitar tahun 1989. Jauh setelah itu, saya berkenalan dengan seorang gadis yang ditakdirkan Allah jadi pasangan hidup saat ini, dia menyebutkan hal yang sama, alumni gontor ponorogo. Literasi yang diberikan mama taunya digerakkan oleh Yang Maha Mengatur, tidak ada yang kebetulan 🙂

Saya pribadi merasa sangat beruntung dengan dorongan dan support mama untuk mau dan rajin membaca, karena kalau tidak, tentu masa sekarang berbeda ceritanya. Membaca membuat kita punya cita-cita, dengan membaca juga kita tau jalan mewujudkan cita-cita itu.

#semangatLiterasiMama

Soka 2 Bogor, 18 Oct 2020.

Leave a comment