Mama dan nak bujang Part-24: Patah tangan

Kuburan Oma dan Eyang

Kehidupan baru diperantauan makin membuka pemikiran. Pergeseran pemikiran dari superior selama kehidupan dikampung menjadi inferior melihat dan membandingkan diri dengan sekeliling, termasuk dengan kawan-kawan sesekolah, bagaimanapun SMP 1 Solok adalah sekolah favorit, tentu saja yang bisa masuk banyak juga dari kalangan tertentu, anak Sekda, kepala Rumah sakit, Dokter, kepala dinas, kepala badan, anak tokoh emas Damrah dan sebagainya.

Kelas 1-i, merupakan kelas urutan terakhir kalau di urut kacang, yang masuk kelas ini kebanyakan dari kampung juga, seperti saya cadangan no-2 terakhir, tetapi kalau saya dengan nem 42 masih cadangan tentu kawan-kawan yang lain diatas saya. Kondisi ini menjadikan saya terpacu untuk penyesuaian lebih cepat, termasuk salah satunya logat, dari Logat Batu Bajanjang yang terasa “minang”nya ke Logat Solok yang berdetus-detus.

Tapi ada satu hal yang menurut saya positif dan saya merasa sangat bersyukur jauh setelahnya. Dari perasaan inferior atau rendah diri tersebut muncul satu sikap pemahaman terhadap diri sendiri.

Awal-awal SMP ini barulah benar-benar menyadari bahwa saya anak yatim tidak berbapak dari umur 6,5 tahun, kelas 2 SD, saya anak tertua, laki satu-satunya dan hanya punya Mama dengan kemampuan ekonomi terbatas, karena itu saya harus menjalani hidup dengan benar agar Mama bisa terbantu, paling tidak mama tidak diresahkan oleh perilaku saya.

Jauh setelah itu saya baru menyadari mungkin saya duluan dewasa, disaat kawan-kawan masih mencari jati diri, ssaat itu saya sudah sadar betul kondisi saya dan itu umur 12 tahun kelas 1 SMP. Kawan-kawan mengenal saya anak yang “saulah” bahkan mungkin ada yang merasa tidak asyik, tidak bisa dibawa berpacu adrealin. Tapi ada juga tidak enaknya, baru disadari setelah puluhan tahun tamat dan kembali ketemu dengan kawan-kawan lama, saya rupanya tidak punya banyak teman 🙂

Saya masuk dan aktif di ekstra kurikuler Pramuka, sangat membantu meluaskan pergaulan dan mempercepat penyesuaian diri. Baik dengan kawan-kawan lintas kelas lintas tingkat juga dengan guru-guru, di Pramuka saya spesialis Lomba ngaji, azan dan kaligrafi, yang nantinya berkembang ke tingkat sekolah dan tingkat kota.

Semester satu saya melewati masa pembelajaran dengan baik, dapat rangking 3, lumayan masuk cadangan terakhir tapi bisa menyesuaikan, kompetitor saya Maulidawati yang akhirnya sekelas sampai kelas 3 dan Meri liliwati anak-anak kampung juga sama dengan saya.

Akhirnya bisa pulang kampung libur semester satu dengan kepala tegak, mama pun senyum melihat saya yang awal sekolah inferior mulai kembali percaya diri. Pulang kampung pertama inilah saya merasakan jalan kaki mulai dari “baso” sampai ke kampung.

Mama lagi ada Kursus Mahir Dasar Pramuka tingkat kabupaten Solok di Koto baru kalau tidak salah, saya liburan tidak ketemu mama. Musim manggis saat itu, kami punya kebun manggis di tanah ulayat yang masa itu dikelola oleh penghulu suku kami, angku, kakak nenek paling tua, Datuak Saripado Alam, sangat dekat dengan kami adik beradik, saya sering ikut beliau ke kebun manggis ini.

Namanya anak kampung, manjat memanjat sudah merupakan keseharian kami, apalagi musim manggis. Saya paling suka memetik manggis muda, yang segar, kalau mengupasnya harus dalam air agar getahnya tidak mengering dan pahit.

Satu pagi, hari ke 3 libur, saya ikut angku ke kebun untuk cari manggis, maklum sudah 6 bulan tidak pulang rindu lidah ini segarnya manggis muda. Sampai dkebun saya lansung panjat beberapa pohon, makan yang masak diatas, angku membersihkan pokok pohon karet.

Di pohon ke-3, dengan semangat 45 saya mulai memanjat, mulai dari gaya panjat pohon kelapa kemudian gaya monyet bergelantung untuk meraih cabang pertama, agar bisa naik ke cabang dan ranting yang tingginya sekitar 5 meter dari tanah.

Tiba-tiba, saya sudah tergeletak diatas tanah, susah bernafas, dengan susah payah saya menjerik memanggil angku, “angkuuuu !!”, angku kaget lansung lari ke arah saya yang masih tergeletak.

Beliau mendirikan saya, saya lansung teriak kesakitan “angku tangan anton lepas..”. Beliau memegang tangan kanan saya sampai ke pangkal baru, saat itulah saya menangis kesakitan, maaf sampai BAB di celana. “Bahunya lepas” kata angku, tanpa menunggu lama beliau menarik tangan kanan saya ke atas, dengan cepat mendorong pangkal bahu kr posisinya lagi. Saya melolong !.

Entah tidak sadar berapa saat, saat membuka mata, angku masih memegang tangan saya, saya merasakan sakitnya berkurang, sehingga bisa berdiri. “Udah, tinggal penyembuhan” kata angku saat berjalan pulang, tangan kanan harus diikat.

Mama mempercepat kepulangan setelah mendengar saya jatuh, apalagi hiperbola informasi “tangan anak ibuk lepas dari bahu”. Makin membuat mama kawatir.

Liburan pertama, tidk bisa berlibur, penyembuhan yang cukup lama juga satu cerita tersendiri.

Bogor, 22 Mei 2021.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s