
Saya SMP kelas dua, akses kendaraan roda empat ke kampung saya sudah tembus. Tapi dari 70 km jarak Solok-Batu Bajanjang, baru separo yang aspal, sampai ke satu daerah yang kami kenal dengan Baso. Dari Baso ke kampung masih jalan tanah yang perjalanannya bisa 4 kali lebih lama dari Solok-Baso. Saya pulang setiap libur semester, 6 bulan sekali.
Kendaraan yang tersedia tentu yang spek “off-road” juga. Chevrolet LUV, toyota hardtop, truk mitsubishi 100 PS dan kendaraan lain yang dimodifikasi, poolnya, atau masyarakat kampung biasa panggil “posko” di pasar Solok, Air Mati, depan loket “bendi”, samping masjid Al Furqan. Jadwal tersedia 1 kali sehari tapi ada 3 sampai 4 mobil, kecuali hari Rabu, jadwal pasar dikampung. Tentu bukan khusus mobil penumpang. Tepatnya mobil barang yang dimuat-muatkan penumpang, kita duduk di atas barang-barang, bahkan kalau ikut truk, bersamaan dengan kambing juga.
Kendaraan bisa sampai ke kampung kalau hari cerah dan tidak ada jalan lonsor, kalau hujan dan jalan putus satu-satunya cara adalah jalan kaki. Dan ini saya pernah alami, liburan semester satu kelas 2 SMP. Perjalanan pulang ke kampung bisa dengan kendaraan sampai Rangkiang Luluih sambung jalan kaki ke kampung 5 km. Tapi pada saat balik habis liburan, musim hujan, jalan lonsor kendaraan tidak ada yang bisa lewat, saya dan mama mau tidak mau tracking lagi, yang parahnya kendaraan hanya bisa sampai Baso.
“Kita cari kawan bang” saya ingat komen mama waktu itu. “Kita akan coba jalur lama, supaya lebih cepat” sambung mama. Memang betul, kalau jalan kaki mengikuti jalan yang biasa dilewati mobil, melalui punggung bukit, berkelok-kelok tak kelihatan ujungnya.
“Dari Rangkiang Luluih kita akan naik keatas bukit, tembus ke bawah dama, kapujan dan terus ke Simanau dari sana kita akan naik ke Karang Putiah, disana dulu ada kambing gunung, kalau beruntung abang bisa lihat” mama menjelaskan jalur. ” Jalur karang putiah akan tembus di Air Busuak, kemudian naik lagi, tembus di Baso, kalau kita mulai jalan jam 7, mudah-mudahan jam 2 jam 3 kita sudah sampai di Baso” lajut mama.
Saya cuma iyakan dan tidak terlalu berfikir seperti apa jalurnya. Sesuai rencana, di bawah rintik hujan, saya, mama dan beberapa warga lainnya memulai perjalanan, mama bawa beras sedikit, juga baju, bungkus makan siang, air minum, bekal sambal (lauk pauk) untuk di Solok. Sehingga beban lebih ringan, saya hanya bawa tas, isinya baju.
Dari kampung ke pasar Lubuak Pauah, Bancah Laweh dan Rangkiang Luluih saya sudah tau jalannya, biasa saja. Dari Rangkiah Luluih naik ke Buah dama, mulai terasa. “Pakai cara yang diajarkan nenek bang, onjak-onjak, sama kayak kita lewat jalur Talang Babungo dulu” mama menyamangati saat saya mulai terlihat melambat. Ya, onjak-onjak adalah cara berjalan yang diajarkan nenek kalau lagi mendaki, menitikberatkan berat tubuh pada sendi lutut, bukan otot paha atau betis, kalau di pelajari, seperti memanfaatkan akselerasi dalam fisika, keren.
Dari Buah Dama mendatar dan menurun ke Kapujan kemudian naik lagi keatas untuk tembus di Simanau. Jalur tentu jalan setapak, tapi rupanya masih banyak warga yang melewati waktu itu sehingga lancar. Jam 9.30an kami sudah masuk ke Simanau.
Dari Simanau naik ke Karang Putih, ya memang ada satu bukit karang yang terlihat putih kalau dari bawah, dan jadi habitat kambing gunung, tetapi saat itu populasinya sudah sedikit karen banyak di buru. Jalur ini lagi-lagi metode nenek sanga terpakai, kemiringan 70 derajat dan panjang. “Lihat kedepan aja bang, jangan lihat poncak, biar dak kelihatan jauh” mama kembali kasih tips saat lihat saya mulai bosan, melewati pendakian tak berakhir.
Dibawah kaki karang putih, melihat ke bawah, sungguh menyamankan mata, nagari simanau yang dalam kungkung bukit terlihat menawan. Perjalanan berlanjut menuju air busuak melewati hutan tropis, beberapa bertemu ladang (kebun) rakyat. Jauh memang, kami turun ke kedai nasi di air busuak sudah jam 2an. Makan siang, shalat dan siap-siap lagi track selanjutnya, air busuk-Baso. Karena mengejar jangan sampai ketinggalan mobil di Baso.
Dari air busuak, naik lagi jalan setapak, saya ingatnya hanya hutan belantara. Jalur Air Busuak – Baso, saya tidak ingat melewati ladang rakyat murni hutan, anak sungai dan jalur setapak yang masih jelas untuk dilalui. Naik, turun, melipir, menyisiri anak sungai sampai akhirnya mulai lega setelah mendengar suara mobil. “Dikit lagi sampai bang” mama menyemangati. Dan akhirnya turun ke kedai nasi Baso sekitar kam 3.30an, masih ada mobil. Perut berbunyi melihat gulai ayam, “makan lagi la” kata mama sambil tersenyum melihat saya ngiler.
Perjalanan beginilah yang menyebabkan saya, jauh setelahnya jadi pecintanta tracking, naik gunung dan kegiatan dialam, apalagi di Pramuka semua itu terfasilitasi. Ada kisah tracking dan pengembaraan yang berkesan juga saat Pramuka SMP, jalur solok-Sawah lunto, next story.
Dojong Taekwondo Rusa, Bogor, 5 Desember 2021 #Tracking