
“Cincin kok sudah tidak pernah dipakai”, “udah gak muat, kalau dibesarin takut rusak”, “mmm kita buat cincin baru yuk?”, pembicaraan dua hari lalu saat angka kalender 27 Juni mendekat. Dan? Apakah cincinnya jadi?. Belum, dan mungkin juga tidak. Cincin mungkin satu tanda dan sah-sah saja, apalagi dari bahan berharga bisa jadi tabungan, yang penting jangan cincin emas buat lelaki, tidak dibenarkan agama.
Ya, tanda. Apakah kita masih butuh tanda? setelah bertahun bersama, saat kerlingan, perubahan bahasa tubuh, perubahan raut wajah bahkan intonasi suara saja sudah menjadi “penggerak” sikap. Terdiam saja beberapa waktu, sudah lansung berpindah isi rekening. Satu emotikon π« saja di WA, sudah lansung jadi keputusan dalam hati dan langkah. Tentu berbicara buat wanita tetap harus, karena dia harus keluarkan 15000 kata minimal setiap hari agar bahagia terjaga dan walaupun hanya dapat komen-komen singkat, toh sudah bisa santai saja, tidak seperti awal-awal yang harus difokuskan pandangan mata saat “dipaksa” jadi corong.
Jadi tanda masih relefan? Saat dua ratu dan satu pangeran sudah menjadi perona hari-hari? Si sulung yang irasan yandanya kalau soal bersikap yang tak neko-neko, Si tengah yang sudah tampak pula tanda-tanda 15000 kata harus “mencucur” tiap hari agar dia tidak “besandiwara”, walaupun kalau soal “pasar” keduanya kayak irisan mentimun sama mamanya, tipis-tipis kali bedanya π dan si bujang yang makin “meraja” tapi tetap berhati lembut, irisan yandanya juga. Jadi masih perlu tanda?
14 tahun, pendek kali terasa, walau tanda-tandanya tidak bisa tidak juga sudah terasa. Mulai dari berat 58 kg, masih “berserak” tulang rusuk, sampai 83 kg, sudah “gapardo, gadang paruik dari dado”. Dari gaya rambut Andi Lau, dan kini sudah jadi BoBoHo, lama juga sudah meninggalkan dunia hitam, kepala sudah putih 80%. Sementara Si Dia masih saja mempesona, mungkin inilah aktualisasi dan presentasi 40 tahunnya Bunda Khadijah dulu saat di pinang Rasulullah, walau ada juga riwayat yang mengatakan 27 tahun, masih merona. Dan apakah itu belum cukup jadi tanda? Masih perlu tanda?
Dulu, saat ketahuan pasangan cincin yang dibagian dalam terukir tanggal dan nama itu hilang satu, entah dimana, mungkin tinggal di sarung tangan motor, atau jatuh entah dimana. Ya, sangat merasa ada tanda yang hilang, walau sejujurnya penuh perjuangan juga untuk membiasakan ada “tanda” dijari, bukan karena sudah bertandanya, tapi memang tidak pernah dan tidak terbiasa ada cincin di jari untuk yang selalu bergumul oli.
Jadi masih perlu tanda?, setelah entah sudah berapa ribu kilo bersama diatas roda? Bolak balik jalur lintas sumatera mungkin sudah 10 kali, jalur tol jawa ujung-keujung berkali juga, 14 tahun sudah 180 ribu+165 ribu+58 ribu kilo roda itu sudah menggelinding, sudah sama dengan jarak bumi ke Luna, yang hanya 384,4 ribu kilo. Masih perlu tanda?
“Jadi, karena Indonesia sudah 77 tahun, bendera merah putih berkibar sebagai tanda NKRI masih merdeka, kita hilangkan saja?”, π, ya sudah. Tanda itu memang perlu, tapi yang paling perlu merah putih itu di dada dan sanubari, agar dia tetap berkibar selamanya. Begitu juga kita, selalulah tandai hati dan jiwa kita agar kelak tinggal kenangan yang jadi tanda bahwa ratusan ribu kilometer pernah kita lalui, entah jaraknya akan terus bertambah sampai sama jarak bumi ke mars, atau berhenti disatu titik, itulah tanda kita.
14 tahun, sudah banyak tanda, tapi masih perlu dan harus terus berlanjut tertandai… π
Soka 2, 27 Juni 2022, #tanda27Jun2008.