Mama dan Nak bujang part-5: Hari berat mama

Tulisan ini lanjutan tentang cerita Mama dan Nak bujang, tiga hari lalu 23 Januri, mama genap 2 tahun kembali ke haribanNYA.

Tahun 1988 bulan Mei, beberapa hari setelah usia saya 6 tahun. Saya ingat di kampung tinggal dengan angku (kakek) dan nenek saja, sementara tidak ada mama, setelahnya, saya baru tau bahwa mama menemani papa di rumah sakit di padang, sudah beberapa minggu.

Papa memang sakit dan dirawat berkali2, momen pada saat papa di rawat karena sakit ini saya cuma ingat satu peristiwa. Yang jelas cukup lama papa dirawat di RSU Solok, karena sampai kami harus mengontrak rumah di Simpang Rumbio Solok untuk menemani perawatan papa. Momen yang saya ingat waktu itu, suatu hari saya kaget kenapa feses saya ada darahnya, rupanya saya juga tidak sehat waktu itu, setelah dewasa saya baru tau, saya terkena disentri waktu papa di rawat di RS Solok.

Dari cerita mama, papa dirujuk ke RSU M Jamil Padang dari Solok karena “sakit kuning” yang makin parah, saya baru tau sakit kuning ini kelainan hati atau mungkin kangker hati. Saya tidak ingat satupun cerita perawatan papa di Padang, mungkin karena memang tidak lama papa dirawat di Padang, kami juga tidak sempat menemani. Akhirnya Papa kembali pada Yang Maha Memiliki Sabtu 28 Mai 1988, usia beliau seumuran saya saya saat ini, 37 tahun waktu berpulang. Saya juga sering mengingatkan ke istri umur papa berpulang ini sebagai “patokan”, yang selalu diikuti dengan cubitan. ๐Ÿ˜Š

Mama bercerita suatu waktu, waktu papa berpulang mama sudah ikhlas. Sehari sebelum papa pergi beliau berdua bercerita panjang, mulai dari kehidupan pribadi dan terkhusus tentang kami, 3 beradik.

Mama bercerita, Papa bilang “saat aku pergi, rasanya saya sangat tidak ikhlas kalau Lis cari ganti”, dan mama juga berjanji waktu itu bahwa tidak akan mencari ganti, akan fokus membesarkan kami bertiga. Dan subhanallah, kami jadi saksi mama memegang janji beliau sampai akhir langkah.

Pesan kedua cerita mama, papa benar-benar berpesan pada mama “sekolahkan anak2 kita, sampai sarjana, karna saya tau betul bedanya antara orang sekolah dan tidak sekolah”.

Yap, papa besar di rantau memulai hidup dari lantai piramid paling besar dan paling rendah dalam piramid strata sosial, pesuruh di kapal dagang. Papa memandang kagum pada kapten yang dengan gagahnya mengendalikan kapal karna sekolah. Melihat para bisnis man lalu lalang di Orchad Road Singapore rapi dan necis, juga karena sekolah. Tekat itulah yang membuat papa bertekad dan berpesan pada mama, bahwa masa depan kami, anak2 beliau akan lebih mudah dengan sekolah.

Dan subhanallah, saya jadi saksi, mama menunaikan janji. Sudah sering saya tulis bagaimana perjuangan mama menyekolahkan kami. Fisik beliau lebih tua dari umur, karena umur beliau habis dengan menggunakan fisik untuk menyekolahkan kami.

Terakhir saya pegang dan cium tangan mama dua minggu sebelum mama berpulang, dipinggir danau taman mini indonesia indah. Saat mama akan berpamitan pulang ke solok setelah acara nikahan keponakan saya, saya menangis sambil menunduk waktu itu. Kulit keriput, kering karna terpapar lumpur dan terbakar matahari demi kami anak-anaknya. Itulah ciuman terakhir sebagai bhakti dan terima kasih tak ternilai dan tak terbayar.

Di kampung, Minggu malam tanggal 29 Mei 1988 rupanya juga malam terakhir kami dengan angku. Saya ingat waktu itu, angku tidak mau makan. Biasanya selalu makan malam bareng, tapi malam itu tidak. Nenek bilang “biarkan saja dulu, nanti kalau lapar angku akan minta makan”

Pagi, senin 30 Mai 1988, saya coba bangun2kan beliau, seperti rutinitas biasanya. Angku biasanya mengantarkan saya ke sekolah, saya baru masuk SD waktu itu. Tapi angku tidak bangun2. Sampai akhirnya saya bilang ke nenek, “angku tidak mau bangun nek”.

Saya cuma memandang tanpa ekspresi saat nenek bilang “angku sudah dulu”. Angku berpulang mengiringi menantunya dalam keadaan tenang.

Sungguh tidak ada ingatan yang berarti tentang saya dan angku. Yang saya ingat angku suka bernyanyi dan merokok Panama, rokok dengan gambar kapal. Ada satu cerita dengan rokok angku ini yang terpatri diingatan saya. Saya pernah pinsan saat mencoba rokok beliau disaat lagi alai2nya mencari jadi diri. Orang kampung ribut karna saya hilang, rupanya saya pinsan dan tertidur di bawah kolong dipan dg rokok di jari ๐Ÿ˜Š

Papa di kubur di pandan pekuburan nagari Koto Baru solok. Karna waktu itu tidak memungkinkan membawa jenazah ke kampung, jalan belum ada. Angku dikubur di tanah suku beliau di kepala koto, ujung atas kampung kami.

Mama sampai di kampung tanggal 31 Mai 1988 sore. Melihat ada “kain basah”. Ini pertanda di kampung kami kalau ada yang baru meninggal juga, mama kira nenek samping rumah yang sudah duluan.

Saya keluar menyambut mama dan dengan polosnya bilang “ma, angku sudah dikubur”. Suer, saya ingat sekali reaksi mama saat itu. Yang baru saya mengerti akan perasaan beliau setelah sedikit bertambah usia.

Mama meraung, hancur..luluh… dua bagian “diri” mama hilang sekali waktu. Saya masih ingat, saya juga menangis dan bertanya “mama, papa mana?”.. mama tidak bisa lagi berdiri…terduduk…tersandar dengan suara dan air mata tidak lagi keluar.

Saya hanya ingat seminggu setelahnya, saat akhirnya mama bisa bercerita, “papa juga sudah sama dengan angku”, waktu itu saya ingat samar2 mengatakan sesuatu pada mama, dan mama cerita kesaya bertahun setelah itu, pernyataan polos saya itu kembali menguatkan mama.

“Ma, kita seri ya..mama melepas papa..kami melepas ayah mama..”. Mama tersenyum dengan berlinang air mata saat bercerita suatu masa pada saat saya sudah di bangku kuliah.

Hari-hari setelahnya merupakan hari-hari berat buat mama. Mama bercerita, hanya menghabiskan waktu untuk mengajar, pulang sekolah ke sawah, ke ladang tanpa ada interaksi dengan masyarakat kampung. Menghabiskan energi negatif dengan bekerj dan mengingat pesan papa, kami harus sekolah.

Saya juga ingat dan mama juga cerita ada beberapa orang yang memang mencoba menawarkan diri ke mama, tapi selalu di tolak. Mama benar-benar fokus membesarkan kami, bersinergi dengan Nenek, bahu membahu sampai akhirnya tuntas semua janji mama.

Saat mama pulang dari Umrah enam bulan sebelum beliau berpulang, mama cerita ke saya. “Buat mama semua sudah tuntas, mama berdoa dua hal utama di depan ka’bah. Matikan saya dalam keadaan tidak membebani anak-anak dan siapapun, tidak sakit tidur sebelum meninggal dan datangkan jodoh pada anal hamba yang terkecil”

Subhanallah, Allah ijabah doa mama. Seminggu setelah kembali dari tanah suci, ada yang datang meminang adik saya dan pas sebulan sebelum akad nikah adik saya yang acaranya beliau sudah atur, Allah ijabah doa mama, pergi tanpa menyusahkan siapa2..

Masa-masa berat sudah berlalu dan tuntas terbayarkan..

Yogja Junction, Bogor, 24 Januari 2019

Leave a comment