
Cita-cita saya jadi insinyur kemungkinan besar terinspirasi cerita-cerita papa tentang pesawat terbang, tahun 77-80an papa memang bolak balik Singapura sebagai ABK dan tentu mungkin pernah free melaut pulang ke indonesia dengan pesawat terbang. Sejak cerita itu, kalau ada pesawat nun tinggi diawan melintas kampung kami, saya selalu berlari keluar rumah sambil teriak “pesawat yang bawa papa..!!”.
Mungkin juga karena bacaan, mama saya guru, jadi yang pertama kali dapat buku kalau ada jatah buku-buku inpres. Berbagai buku dan bacaan tentang alat-alat teknik sangat membekas dalam fikiran saya, motor, mobil, sepeda, dan sebagainya. Apalagi dengan dibawa mama jalan-jalan setiap liburan, bentuk fisik yang sebelumnya cuma ada di bayangan dan buku bisa terlihat lansung.
Kreatifitas untuk meniru dan untuk selalu ingin tau tentang segala sesuatu lebih detail mulai muncul di usia-usia pandai membaca, kelas 2 SD mugkin. Saya mulai buat mobil-mobilan dari papan dengan roda sandal jepit bekas, berbagai jenis, truk, sedan, dll.
Keingintahuan lebih juga mulai dimedio tersebut. Makanya setiap mama belikan mainan mobil-mobilan yang sebenarnya sangat langka dan mewah buat kami di kampung. Ditangan saya hanya bertahan maksimal 3 hari, setelah itu pintunya lepas, karena ingin tau kok bisa buka tutup. Rodanya lepas, kacanya lepas, dan berakhir di bawah jembatan.
Saya masih ingat, papa pernah belikan mobil-mobilan sedan polisi sepasang, buat saya dan sepupu saya (ponakan papa). Yang jatah saya cuma bertahan seminggu, dan berakhir dipinggir sungai, dijatuhkan dari jembatan. Yang jatah sepupu saya, pulang terakhir ramadhan 2019 kemaren sepertinya masih ada dilemari. π
Kelas 5 SD, tahun 1992, kreatifitas makin menjadi, satu proyek besar saya saat itu, membuat motor mainan dari kayu. Imajinasinya dari Honda CB Pak Etek (adik papa), material dari papan yang sebenarnya di siapkan mama untuk dinding dapur, papan kayu mahoni.
Tanpa ijin mama, itu papan saya potong-potong, paku, rakit dan singkat cerita setelah beberapa hari, jadilah motor-motoran itu. Mama tidak tanya dari mana papan materialnya berasal, hanya senyum-senyun saja melihat saya sibuk bertukang.
Setelah jadi, saya coba trial test, rupanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Rodanya meleot, karena klahar (bearing) untuk roda yang saya dapat bekas dari spare part Heler (penggiling padi) Pak Etek saya, hanya ada satu masing-masing roda, tidak kuat menahan beban. Apalagi saya juga belum bisa bawa sepeda, la wong sepeda itu angan-angan saja waktu itu, barang mewah. Akhirnya proyek gagal.
Beberapa waktu setelah itu, mama mau mulai pasang dinding dapur. Deal dengan tukang, dilihat papan untuk dinding, rupanya sudah terpotong-potong. Barulah disitu mama ngeh, papan dinding sudah jadi proyek motor yang gagal. “Mama cuma menarik nafas waktu itu” cerita mama suatu waktu.
Waktu itu memasak dikampung masih pakai kayu bakar. Ya, jadilah itu semua bagian motor saya jadi arang. π. Tapi mama sisakan satu roda, buat alas periuk nasi dan terpakai sampai puluhan tahun setelahnya, baru berakhir pengabdiannya setelah masuknya listrik dan masak pakai kompor gas.
Setiap saya pulang dulu, liburan cawu dan liburan semester waktu kuliah, kalau melihat roda motor yang sudah menghitam karena periuk nasi itu, senyum selalu mengembang. Biasanya mama menggoda “sisa-sisa motor abang”. Saya biasanya tertawa..
Di medio yang sama, bulan puasa waktu itu, dikampung saya sedang viral “badia-badia” brandas. Brandas itu nozzle spray lampu strongkeng (petromax). Dipasangkan rumbai-rumbai dari tali plastik sebagai penyeimbang, untuk bisa dilempar ke atas dan turun layaknya peterjun payung. Mesiunya dari korek api, triggernya dari paku yang dipotong.
Cara mainnya, mesiu dari korek api dimasukkan dan dipadatkan dalam lobang brandas, kemudian dipasang pematik/trigger dan dilemparkan ke udara. Mainnya di lantai batu atau beton. Pada saat turun, trigger membentur lantai akan menekan mesiu dan meledak, bersuara seperti granat atau senjata api, badia-badia itu bahasa minang untuk senjata api. Setelah motor masuk kampung, badia badia brandas ini naik level jadi badia badia busi, dari ex busi motor, suaranya lebih menggelegar.
Saya yang selalu kekinian tentu saja juga ikut yang lagi viral. π Tapi setelah kesana sini cari brandas, sampai ke lapau (kedai) yang biasa jual aksesoris lampu petromax tidak ada. Sampai akhirnya tau ada lampu strongkeng yang baru dibeli mama, simpan kamar atas.
Tanpa fikir panjang lagi lansung eksekusi. Biasanya strongkeng baru selalu disertai kunci yang lobang segi lima untuk buka brandas dan buka pengatur minyak tanah. Tapi setelah dicari-cari kok tidak ada, akhirnya lari ke dapur ambil kapak. Cerita selanjutnya, lebih kurang sama dengan papan tadi π. Itu lampu petromax tidak berbentuk dalam 2 jam. Lagi-lagi mama tidak curiga, karena memang sudah kebiasaan mungkin kalau saya lagi ada proyek rumah ribut.
Proyek sukses, “badia-badia” brandas akhirnya menjadi penghibur dan bahan pamer ke teman-teman. Tapi untuk case ini mama lebih cepat tau, karna malamnya kebetulan ada acara makan-makan bawa keluarga besar buka puasa, perlu 2 lampu strongkeng, pas naik ke lantai atas untuk ambil lampu baru, yang ketemu hanya sisa-sisa petromax yang tidak lagi berbentuk. π
Cerita mama bertahun setelahnya, “pengen rasanya mama remes abang waktu itu, cuma alhamdulillah bisa menarik nafas, mama bersabar, abang selamat” sambil tertawa.
Jejak cerita yang seperti ini sebenarnya banyak berlanjut setelahnya, ada yang bikin mama tersenyum senang, tak jarang juga tersenyum kecut. Tapi seingat saya, mama tidak pernah marah sekalipun ke saya, kalau itu mengenai kerusakan barang-barang.
Hal ini mungkin juga karena papa. Pernah suatu kali mama cerita tentang “kreativitas engineering” saya, yang bersinggungan lansung dengan papa, tapi kejadian itu belum tersimpan dalam memori saya. Waktu bertukang bangun rumah mama sekarang, saya memecahkan kaca nako sekotak. Hancur lebur, padahal waktu itu untuk angkut material bangunan ke kampung saya pakai kuda beban 2 hari perjalanan.
Mama sempat kawatir papa marah ke saya, cuma respon papa yang membekas di ingatan mama yang akhirnya juga menjadi tindak mama kalau sudah berurusan dengan saya merusakkan barang-barang. “Tidak apa-apa, barang yang rusak bisa di cari lagi, namanya juga anak laki-laki, tapi kalau anak dimarahi, itu akan membekas dalam jiwanya”, begitu respon papa waktu itu, cerita mama.
Akhirnya, mungkin itu pulalah yang mendorong saya bercita-cita jadi insinyur, setelah cita-cita jadi tentara kandas, karena tinggi pada saat lulus esempe hanya 155 cm. Sikap mama dan papa ini membekas juga pada saya. Jadi wajar saja rasanya saat si bontot “lelaki” saya, hanya mampu menjaga mainannya tak lebih dari 5 hari saja, setelah itu rodanya terbang ke atap, pintunya masuk kolong meja.. π
Rupanya dengan ilmu pengetahuan yang makin maju, membuktikan anak yang dibiarkan bereksperimen perkembangan otak dan kecerdasannya akan lebih baik, dibandingkan dengan anak yang sering kena hardik dan dimarahi, hubungan antar neutron di otaknya akan kacau dan mati pelan-pelan. Orang tua kita mungkin belum tau alasan ilmiahnya, tetapi paham akan hikmahnya..
Selamat hari ibu… Alfatihan untuk mama…
Whyndam Kasablanka|22 Dec 2019.