Mama dan nak bujang Part-11: mandi darah dan kepala bertanduk

Angku Datuak

Saya belum sekolah, mungkin umur 5 tahun, saya ingat tapi tidak jernih. Cerita mama setelahnya sedikit menjernihkan. Kami masih tinggal di rumah gadang milik nenek dan angku (kakek) yang disekelilingnya ada pohon mangga yang banyak “karanggo” semut merah yang gigitannya bikin nangis tapi buahnya manis dan bebas ulat, pohon duren yang ditanam nenek dimana saya belum pernah coba buahnya sampai sekarang, pohon kelapa hijau yang juga ditanam angku, pohon manggis di kebun belakang yang jarang diambil buahnya dan pohon kopi arabika yang bijinya sering disangrai sendiri oleh nenek untuk jadi kopi hitam yang segar.

Menurut cerita mama dan nenek, rumah gadang ini sebenar dulu milik suku yang dijatahkan ke nenek kami. Rumah gadang minang yang termasuk paling bagus dijamannya, dengan balkon model kubah, satu-satunya saat itu. Tetapi hancur dibakar tentara pusat waktu jaman peri peri (PRRI). Cerita nenek waktu itu setelah tentara pusat akhirnya bisa masuk kampung mengejar Kolonel Ahmad Husein, semua orang kampug pergi “ijok”, mengungsi, makanya kalau orang tua-tua kampung jaman PRRI juga sering di sebut jaman Ijok. Seluruh rumah dibakar hanya ditinggalkan masjid saja.

Sebelum rumah yang dibangun papa selesai disinilah kami tinggal, berdinding papan dan juga “berjanjang”/bertangga kayu yang kalau hujan licin. Posisinya dibagian atas kampung kami, karna itu pula nenek dari pihak papa dan juga kakak papa yang sehari-hari saya menghabiskan waktu disana kami panggil “Nek Baruah” dan “mak tuo baruah”, baruah bahasa minang yang maknanya bawah. Setiap hari saya bolak balik dari rumah atas ke rumah Nek Baruah bermain dengan sepupu saya yang seumur, kami biasa saling panggil “BOY”.

Suatu ketika yang saya ingat, mama masih disekolah belum pulang, dari rumah atas seperti hari hari biasa jadwal bermain dengan BOY sudah tersusun. Tidak ada orang dirumah, nenek dan kakek juga lagi disawah. Sendiri saya turun tangga, setelah itu saya tidak ingat lagi.

Cerita mama bertahun setelahnya, mak tuo bercerita ke mama, saya datang dengan menagis dan muka penuh darah, keluarga mak tuo ribut dan panik cara hentikan darah yang mengalir deras dari kepala saya, tepat diubun-ubun. Belum ada dokter dikampung saat itu, hanya mantri. Mak tuo berhasil hentikan darah dengan menekan bagian luka dengan kain dan setelahnya diberi ramuan daun-daunan untuk mengobati luka.

Mama datang tergopoh-gopoh dan panik dari sekolah setelah disampaikan oleh orang kampung secara hiperbola, saya mandi darah 🙂. Mama kemudian membawa saya ke puskesmas untuk dijahit, tapi sayanya malah kesetanan pas melihat pak mantri, akhirnya luka dikepala saya dibiarkan. Sampai saat ini masih ada tanda luka memanjang 2 cm, licin tanpa rambut pas di ubun-ubun.

Seiras dengan mandi darah, kejadian saya jatuh yang korbannya berhubungan dengan kepala, juga terjadi mungkin dikelas 2 atau 3 SD. Kejadiannya di “polongan”, saluran air yang melintas jalan, di masing-masing sisinya dibuatkan bantalan setinggi setengan meter yang bisa untuk duduk, didepan rumah Nek Baruah. Selesai main kejar-kejaran dengan teman sepermainan, saya lansung duduk di bantalan polongan sambil terengah engah dan ketawa-tawa, entah bagaima ceritanya tiba-tiba saya sudah didasar polongan yang tingginya dari bantalan sekitar 1.5 m, saya tidak ingat setelahnya.

Cerita mama lagi, mak Tuo panik lagi setelah diteriakin orang saya jatuh. setela diangkat dari dasar polongan saya disiram air seember, biar sadar. Dicek kepala tidak ada darah, hanya ada benjolan dua pas diatas kiri kanan, ya kayak tanduk anak sapi yang baru muncul, dan tanda itu bertahan sampai sekarang.

Setelah itu masih ada beberapa kisah tentang, “kenakalan” anak laki-laki, walau sebenarnya saya selalu “saulah” dari dulu. Makanya dulu kalau lagi bersama mama, tiduran dipaha beliau yang dilihat lansung ke bekas luka di kepala, “tanda orang pintar, kalau hilang bisa jadi tanda” kata mama sambil tersenyum

Canda saya sama mama, mungkin kejadian-kejadian ini ada manfaatnya juga, kalau orang China bilang, ini membuka “chi”. Pernah nonton kunfu hustle? Setelah dihajar baru keluar kemampuannya 🙂. Setelah kepala terantuk beberapa kali, syaraf-syarafnya bergerak untuk lebih kreatif dan lebih pintar, mama cuma tersenyum kalau sudah cerita begini.

#3 tahun kepergian Mama 24 Jan 2017-24 Jan 2020

Cibis Nine, 16th floor. 24Jan2020

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s