
Siapa menyangka, bumi yang kita tempati akan terkena pandemik yang memakan banyak korban, dimasa kita, ditahun 2020, setelah 100 tahun dari 1918 saat wabah Flu Spanyol juga “membersihkan” bumi ini. Corona Virus Dieses 20l9 (Covid19), memaksa kita untuk jadi pahlawan dengan bersabar untuk di rumah saja sementara.
Sudah minggu ke-4, karantina mandiri, sudah 4 minggu juga tidak Jumatan, siapa yang tak sedih, tapi harus disiplin, disiplin dan disiplin. Insya Allah dengan disiplin jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, kita jadi termasuk survivor pandemic ini.
Sekitar Tahun 1989/1980, dikampung kami Nagari Batu Baianjang, Tigo Lurah Kab Solok, Sumbar, pernah terjadi bencana angin punting beliung (cyclon) atau angin “limbubu” dalam bahasa minang. Saya masih ingat atap “balai-balai”, semacam balai tempat berkumpul orang kampung bersantai dan bercengkrama, di pertigaan jembatan dan masjid (sekarang tugu ayam kokok lenggek) diterbangkan oleh cyclon ini. Kami anak-anak yang sedang bermain saat itu bubar berlarian mencari aman.
Pohon kelapa meliuk-liuk seakan mau tercerabut dari akarnya. Suara angin membuat keberanian lelaki kecil 8 tahunan ini menciut. Rumah berderik-derik. Saya tidak ingat apakah ada korban atau kerusakan parah rumah rakyat waktu itu.
Saya dikampung hanya sama nenek dan adik terkecil siang itu. Mama dan adik nomor dua saya lagi di Sungai Nanam, di rumah Mak Etek (paman) adik mama. Saya lari kerumah sembunyi dibawah meja, karena mencekamnya suasana. Menjelang sore angin “limbubu” itu mulai mereda dan sirna.
Jam 9 malam, ada yang mengetuk pintu, setelah dibuka rupanya mama dan adek saya nomor dua, dengan tubuh keletiha dan masih tersirat kecemasan yang mendalam di wajah mama, masuk ke rumah dan meminta minum, setelahnya lansung terduduk “taunjua”.
Kami tidak tau mama akan pulang hari ini, maklum belum seperti sekarang, Putin melepas singa saja di Rusia, sedetik kemudian bersebaran jadi hoax di negeri kita, karena komunikasi yang tidak lagi berbatas waktu dan tempat.
Dari Sungai Nanam, Lembah Gumanti ke Kampung kami saat itu 8 jam perjalanan, tracking, melewati jalan setapak, Poncak, Ulu ayie (hulu air), air terjun yang hanya terdengar suaranya tidak pernah melihat bentuknya. Masuk negeri Kapujan, turun lewat Panariak sampai ke Pasar Lubuk Pauah, melewati Lubuak Ngarai yang ke kami anak kecil diceritakan angker, saya selalu lari lewat area ini, masuak Ikua Koto baru senang rasa perasaan. 8 jam jalan kaki sama dengan naik Gunung Singgalang dari Tower RCTI.
Mama bercerita setelah tenang, “Mama kira kita tidak akan ketemu lagi, angin kencang pohon-pohon pada roboh, mama terpaksa lari, pas baru lewat selangkah pohon roboh dibelakang kami, sudah tidak terasa beratnya jalur, mama berlari dan berlari, Opet di gendong dengan selimut dibelakang alhamdulillah tidak rewel dan anteng” mama membuka cerita.
“Ditambah hujan, angin kencang, nyawa serasa diujung tanduk, lari, pohon roboh lari lagi, menyeruak lewat bawah pohon yang tumbang, setelah angin mereda, dengan susah payah melawati pohon-pohon yang bertumbangan, akhirnya keluar juga di poncak kapujan, sudah jam 8 malam” lajut mama.
“Hanya berkat lindungan Allah, mama dan Opet tidak kena seranting pohon pun, mungkin Allah sayang sama anak kecil.” Cerita mama berlanjut. “Mama hanya berdoa, berdoa, berlari dan menyeruak di bawah pohon, situasinya mengerikan.” Sambung mama.
“Iya ma, abang pun manyuruak dibawah meja, atok balai-balai tabang dek angin limbubu (abang sembunyi dibawah meja, atap balai diterbangin angin punting beliung)” saya ikut cerita, sambil memeluk kaki mama yang selonjoran.
Ceritu tentang perlindungan Tuhan itu, selalu diulang-ulang mama jika mendapati ada musibah atau mendengar bencana bermasa-masa setelahnya. “Tiada daya dan upaya kita dihadapan alam yang diatur oleh Yang Maha Kuasa, kita kecil, hanya dengan perlindunganNYA lah kita bisa selamat” nasehat mama selalu terngiang, dan selalu di ikuti dengan cerita seram melewati angin “limbubu” ini.
Semoga lindungan Allah jualah hendaknya, kita semua di lindungi dan bisa melewati musibah pandemik COVID 2019 ini. Allah punya cara menstabilkan bumi ini yang semakin hari semakin tua dan semakin rusak oleh tangan-tangan manusia juga, laporan NASA yang menggambarkan bagaimana polusi bumi ini menurun jauh, langit membiru beberapa minggu ini, karena polusi dari aktifitas industri berkurang.
Kita kecil Allah lah Yang Maha Besar..
#diRumahAja.. Bogor, 10 April 2020