Mama dan nak bujang Part-21: Tamat SD

Habis Ujian Akhir SD

1993 ujian akhir Sekolah Dasar (SD) masih digabung dan dipusatkan di SD Nagari Batu Bajanjang, sekolah saya. Semua murid dari nagari sekeliling yang tidak bisa akses jalan kaki ke kampung kami, nagari Simanau, Sumiso dan Garabak Data, menginap di kampung, ada lokasi rumah yang disiapkan atau menumpang di rumah warga, saya masih ingat, teman-teman dari Simanau penginapannya di Surau Pulau-pulau, surau saya, dekat dengan tepian tempat mandi kami.

Besar manfaatnya sebenarnya, momen ujian yang full satu minggu, hanya pagi sampai siang, siang sampai sore, selain belajar, bisalah digunakan untuk saling berkenalan. Bertemu teman baru dari beda nagari buat kami waktu itu sungguh membahagiakan. Dengan teman laki-laki kami buat lomba bola volly karah yang lapangannya didekat Lubuak Pacah, tempat mandi anak-anak perempuan, sebelum mandi teman-teman cewek memberi semangat ke yang main volley, saling kenal terjadilah disana.

Guru-guru dari semua wilayah, termasuk dari kantor dikbud Payung Sekaki, juga tumplek blek di kampung, seksi konsumsi adalah Mama, jadi setiap makan pagi dan malam semua makan di rumah dan kebetulan ada yang menginap dirumah kami juga. Rame, makanya saya seringnya bermain dengan teman-teman yang diluar nagari karena ada guru-guru di rumah.

Belajar? Saya tidak ingat, saya belajar untuk ujian atau tidak, yang saya ingat ya cuma bermain itu. Kalau Mama tanya, “Bang, udah belajar?”, kadang saya jawab, “Masak juara dari kelas satu masih belajar ma?”. Mama kadang ketawa saja. Ya, begini-begini saya langganan juara kelas dari kelas satu sampai kelas enam, 1,2,3 lah posisinya. Tandem dan saingan saya jaman itu Leni dan Nel, juara tingkat kampung.

Ujian selesai, keluarlah hasil yang ditunggu-tunggu. Bapak Dikbud dari Kecamatan bercerita ke Mama, bahwa 1993 “daerah ateh”, daerah atas itu sebutan untuk semua kampung yang ada di atas bukit, kampung saya dan sekeliling. Luar biasa, Nilai tertinggi se kecamatan dan paling tinggi sejauh ini, dari negeri Garabak Data. Mama bertanya “siapa nama anaknya Pak?”, “Anton Pane” jawab Pak Dikbud. Mama tersenyum dan berkomentar singkat “itu anak saya pak”. Saya masih ingat nem saya 42 koma sekian.

Pendidikan tertinggi di kampung kami saat itu baru SD, untuk tingkat selanjutnya mau tidak mau harus keluar nagari. Akhirnya dengan nem tertinggi di kecamatan, Mama mendaftarkan saya ke SMP 1 Kota Solok, SMP pavorit dan unggulan, tidak mendaftar ke sekolah lain karena percaya diri tinggi. Dan saya juga masih ingat, dengan nem paling tinggi tingkat kecamatan, saya hanya ada di posisi cadangan no 2 di SMP 1 Kota Solok, yang belum tentu diterima atau tidak. Paling tinggi nemnya 52, Hendri Umar, anak dokter Umar Rivai (alm), yang sekarang Kapolres Malang.

Mama mulai kawatir, bagaimana kalau tidak diterima, padahal tidak ada mendaftar ke sekolah lain. Panitia penerimaan juga menginformasikan bahwa jarang ada yang mengundurkan diri dari SMP 1, mama makin snewen, masak anak nem tertinggi di kecamatan , sekolah swasta.

“Pulang dulu saja la kita ma, sambil menunggu, kan pas batanam juga, selesaikan dulu la” saya bilang ke mama waktu itu, akhirnya kami pulang dan mama menunggu dengan was-was.

Bersambung…

Soka 2, 23 Januari 2021.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s