
Masuk semester ke-2 di SMP 1 Solok, saya masih berulang dari Simpang Rumbio ke sekolah, pun bolak balik ke uda tukang urut dalam rangka pengobatan tangan saya. Setelah tangan sembuh, setiap Jumat malam ikut latihan wushu di Masjid Agung Kota solok. Pergaulan mulai masuk ke pemuda-pemuda asli simpang rumbio dekat terminal Bareh Solok, yang waktu itu baru mulai di operasikan.
Kalau di gambarkan situansinya, di kota Solok waktu itu, ada “kehidupan jalanan” yang hampir setiap area di kuasai para “jagoan”, preman mungkin istilahnya, korbannya kebanyakan anak-anak kampung seperti saya. Sering dimintai duit dan macam-macam, alasan ini jugalah yang membuat saya masuk ke pergaulan para “penguasa” area ini, cari beking. Kalau ada yang stop dijalan, tinggal sebut nama, aman.
Berbagai macam alasan teman-teman tersebut, mulai dari yang sama dengan saya, biar aman, ada juga yang uji nyali, tapi ada juga yang memang untuk bertahan hidup. Saya kebetulan dapat kenalan yang sudah malang melintang di terminal untuk bertahan hidup, sebut namanya saja aman dijalan. 😏
Tapi pergaulan saya ini sepertinya sampai cerita ke mama, mungkin dari tetangga-tetangga, tentu ada kekawatiran cuma karena prestasi sekolah saya tidak terpengaruh, mama membiarkan.
Suatu malam, akhir pekan, saya ikut teman-teman ke pemandian air panas bukik kili, naik dijalan lompat truk bak terbuka. Di pemandian air panas yang merupakan salah satu objek wisata Kota solok, dengan sok jago, saya lansung lompat ke kolam selayaknya mandi di sungai kampung yang airnya dingin, tanpa penyesuaian dulu suhu tubuh terlebih dahulu.
Dalam kolam, saya merasakan tubuh seperti ringan serasa bisa terbang, pori-pori terasa kemasukan udara, sesaat setelah itu energi lansung hilang, saya bahkan hampir tidak bisa keluar kolam. Untung di angkat sama kawan-kawan. Badan memerah, selayaknya ayam rebus, pandangan kosong. Shock !
Sementara saya berjuang menghilangkan keterkejutan, teman-teman tertawa “urang ateh pai mandi aie angek, dikiro co ka danau singkarak, teler e..” disambut tawa meriah, teman-teman mandi, saya tercenung dipinggir kolam.
Rupanya shock ini berbuntut lama, kondisi saya sempat drop dan sakit. Saat mama tau saya sakit karena ikut berendam dengan teman-teman, mama ambil keputusan. “Abang pindah kontrakan..!”. Saya cuma bisa mengiyakan waktu itu. Memang selain itu alasan jarak yang cukup jauh dari sekolah dan memerlukan tambahan biaya juga, jadi alasan lain dan mentrigger pindah kontrakan.
Akhirnya dari Simpang Rumbio, saya pindah kontrakan ke rumah petak disamping Kasda Motor Pandan, sekarang sudah jadi ruko Apotik Kimia Farma. Dulu ada kontrakan beberapa petak, saya paling ujung kiri. Tiga ruangan, ruang tamu, ruang tidur dan kamar mandi/dapur. Didepannya ada kandang ayam dan itik, jadi serasa dikampung juga. Belakang pas rel kereta api Sawah Lunto-Solok, KA membawa batubara yang operasinya di stop tahun 2003, saat saya tamat kuliah.
Mama sengaja memindahkan ke sini agar dekat dengan uni-uni dari kampung, Pangka Pulai, yang juga lagi sekolah dan bekerja di Solok. Ada teman dan ada yang menjaga. Karena ada ruangan yang memadai, nenek sering menemani saya di Solok, selesai bertanam padi sambil nenunggu besiang dan menyabit, nenek menemani saya.
Banyak cerita dengan nenek di kontrakan ini, akan jadi episode tulisan tersendiri.
Akhirnya, walaupun saya sudah pindah dan berpisah dari kawan-kawan simpang rumbio, tapi saya masih latihan wushu di Masjid Agung sampai tamat SMP dan masih bisa “pakai” nama beking untuk aman di kota solok. 🙂
Hijrah untuk lebih baik..
Cibis9,Cilandak,Jaksel – 2 Juli 2021