
Di kontrakan baru samping Kasda Motor, nenek sering menemani saya. Masa-masa rehat ke sawah nenek pasti ke Solok. Sebenarnya rutin setiap bulan nenek turun gunung, karena mengambil pensiun Angku memang harus di BTPN Solok.
Masuk semester ke 2 kelas satu di SMP 1 Solok, saya mulai ikut banyak kegiatan, selain aktif di Pramuka yang latihan setiap minggu pagi, saya juga diikutkan jadi team senam SKJ SMP 1 solok yang musiknya sangat khas, buat yang SMP angkatan 90 pasti memorized, ini senam wajib. Juga beberapa kegiatan lain, termasuk lomba-lomba yang berhubungan dengan agama, lomba azan, mengaji dan kaligrafi.
Selama belajar sehari-hari, ikut kegiatan extakurikuler dan kegiatan lainnya memang diperlukan dukungan penampilan dari seragam yang rapi, saya kadang minder dengan teman-teman, baju dan celana tidak serapi dan selicin teman-teman yang lain. Bahkan sanding baju tidak kelihatan atau kalau ada bisa double bahkan triple.
Kami memang tidak ada setrikaan waktu itu, aturan dari yang punya kontrakan, jika ada alat elektronik harus tambah sewa dan itu memberatkan. Tidak mungkin juga membawa setrikaan tempurung kelapa dari kampung, karena itu satu-satunya “senjata” mama untuk tampil rapi mengajar di sekolah. Selain tentunya tidak ada budget untuk beli setrika listrik.
Mulai dari SMP saya menyadari betul dan merasakan positioning kehidupan keluarga berdasarkan taraf ekonomi waktu itu, terasa benar di menengah bawah. Jadi fokus ke kebutuhan primer, kalau ada kebutuhan yang lain harus menabung dulu.
Untuk urusan rapi-rapi ini, nenek lagi-lagi mengajari saya, “dulu jaman Jepang, untuk bikin rapi seragam angku, nenek pakai kanji, air nasi yang masih kental, di oleskan ke sanding lipatan baju/celana, kemudian seragam itu disimpan di bawah kasur, besok pagi pasti baju atau celana bersanding rapi, kita coba di baju abang ya” kata nenek. “Tapi jangan pakai air nasi juga nek, malah dikerumuni kapindiang nanti” jawab saya waktu itu. “Iyo” nenek jawab sambil terkekeh.
Malam itu, baju sekolah yang sudah di cuci, dilipat rapi dan di tarok di bawah kasur oleh nenek, sambil menjalankan aktifitas rutin “kapindiang hunter”. Dan kamipun tidur normal, “tidak perlu di injak-injak kasurnya kan nek” tanya saya waktu itu, “tidak perlu, nanti malah dipannya yang runtuh kalau abang “ojak-onjak” di kasur” nenek menjawab.
Dan, metode nenek bekerja. Pagi-pagi baju dan celana sudah seperti di setrika, walau tentu tidak akan serapi pakai setrika asli, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya, menambah percaya diri untuk ke sekolah. Metode ini kami jalankan cukup lama, sambil menabung untuk beli setrika dan tambah uang sewa.
“Tak ado kayu janjang di kapiang dak ado rotan, aka pun jadi”, ini peribahasa minang yang mengilhami film lawas Mac Giver. Maknanya kreatifitas itu muncul dalam keterbatasan selama otak kita di pakai untuk berfikir.
Nenek memang jozzz… 🙂
Soka 2, 11 Juli 2021 #PPKMdarurat #rinduEyang