“Eril, mama pulang dulu..”

“Eril.. mama pulang dulu”..

“Eril, mama pulang dulu….”Tegar, walau dalamnya kehilangan hanya Mama Atalia dan Papa Ridwan yang bisa mengukur.

Kita semua tau, beberapa hari menyusuri sungai Aare, Swis, mama Atalia dan Papa Ridwan, juga adek cewek Eril, Zara, anak lelaki tercinta, abang tersayang masih belum ditemukan. Tegar, ya, keputusan meninggalkan dan menitipkan Eril ke yang maha melindungi dan mendeclare Eril sudah kembali ke haribanNYA, adalah bukti keteguhan dan keihklasan keluarga bahagia ini, tidak bisa tidak kita semua ikut berduka dan berdoa, doa buat Eril dan tentu saja doa untuk Papa Ridwan dan Mama Atalia juga doa buat kita semua agar ketegaran ini bisa mengajari kita akan arti keihlasan sebenarnya.

Kedekatan Eril dan Mama Atalia ini, membangkitkan kenangan lama saya tentang arti kasih sayang ibu dan anak, bukan orang jauh, tapi orang-orang tersayang dan terdekat saya sendiri, Mama dan Nenek. Nenek beberapa kali ditinggalkan oleh anak-anak tersayang, mulai dari Mak Dang anak tertua beliau yang kembali kepadaNYA di usia yang kira-kira sama dengan Eril saat ini, 20-22 tahun, kemudian ditinggal oleh Mak Ngah, anak lelaki beliau dibawah mama, yang meninggal ditempat pengunsian perang PRRI, kami dapat cerita saat keluarga mengusulkan jenazah dibawa pulang, nenek dengan tegar bilang “dimana bumi memintak, disanalah jasad tertanam”, tegar. Tapi yang kami sendiri menyaksikan dan menjadi pelajaran paling berharga buat kami adek beradik adalah saat nenek di tinggal mama 2017 lalu, dan sebelum nenek juga menyusul mama setahun setelahnya 2018. 

Mama dan nenek adalah dua sejoli yang mungkin hampir sepanjang umur tidak pernah berpisah, dimana ada mama, nenek pasti ada disana.  Betul memang, mama adalah anak perempuan satu-satunya buat nenek, tiga lainnya laki-laki, sehingga sayangnya berbeda, dua anak laki-laki nenek kami tidak ketemu, hanya mama dan Mak Etek Raflis yang membersamai tumbuh kembang kami. Mama kadang sering kena marah juga oleh nenek, atau sebaliknya mama kadang kesal juga ke nenek, mama memanggil nenek dengan “andeh”, panggilan minang lama. Tapi begitulah, mereka sejoli tak terpisahkan, perjalanan panjang terakhir yang mereka lakukan bersama  adalah umrah ke tanah suci tahun 2016, setahun sebelum mama berpulang.   

Kepergian mama yang sangat tiba-tiba hanya nenek yang mendampingi, waktu itu jam 11 malam saya dan mama masih telponan diskusi persiapan pernikahan adek bungsu saya, nenek ada juga disamping beliau. Kemudian saya tidur, baru terlayang, jam 1.20 dini hari, keluarga dari kampung menelpon kembali, mengabarkan mama sudah berpulang, sangat tiba-tiba. Saya sampai dikampung saat itu sore harinya, setelah melihat wajah mama sebelum jenazah di selenggarakan, yang saya perhatikan pertama kali adalah raut wajah nenek, saya memandang nenek, memeluk dengan sangat berusaha tidak keluar air mata, berusaha tersenyum. Raut wajah itu tetap sama.., wajah yang kalau ketemu saya selalu tidak lepas dari senyuman, dan masih saja seperti sebelumnya, air mata saya tertahan melihat ketegaran nenek saat itu.

Beliau tidak ikut prosesi memandikan dan mengubur mama, hari besoknya baru kami membawa nenek   ke kubur mama, komen pertama beliau menggambarkan bedalamnya jalinan kasih mereka, “kamano kau diantaan urang Lih”, dalam bahasa minang yang artinya “kemana kamu diantar orang Lih”, Ilih adalah panggilan sayang nenek ke mama, dengan intonasi yang saya belum pernah dengan sepanjang saya hidup dengan beliau, dalam. Setelah itu beliau diam, berdoa, dan tidak lagi banyak berkata-kata.

Setelah mama pergi, nenek tinggal dengan adek tengah saya, terlihat sekali perubahan beliau waktu itu, mudah bersedih, mudah berhiba hati, butuh waktu untuk kami cucu-cucu beliau mengembalikan kecerian nenek. Bahkan ke saya sendiri yang sebelumnya tidak pernah sekalipun marah, pernah terlontar “jangan cuma duitnya saja yang pulang, orangnya juga” dengan intonasi marah, yang mau tak mau membuat jiwa ini bergetar.   Kerinduan beliau ke mama mungkin sama dengan kerinduan ke saya, cucu laki satu-satunya.

Sampai akhirnya nenek berpulang dengan tenang ditengah-tengah kami semua pada usia 92 tahun, nenek sembelum mama berlupang tidaklah lagi sama dengan setelah mama kembali ke haribanNYA. Kalau mau mengambil pelajaran contoh kasih sayang ibu dan anak, kisah Nenek dan mama menurut kami adalah yang terdekat dan terbaik. 

Mama Atalia kita lihat tegar, tapi kita tidak bisa mengukur dalamnya kehilangan beliau, cuma waktu yang bisa mengembalikan keceriaan hati. Selamat jalan Eril..

Bogor, 4 Juni 2022 #sayangMama

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s