
Saya pada prinsipnya anak yang sangat “saulah”, tidak suka ribut malah mengarah ke penakut. Tapi di latihan wushu Masjid Agung Kota Solok, harus ada latihan pertarungan atau lebih dikenal dengan kelas Kumite. Cabang wushu Masjid Agung memang agak tradisional latihannya, keras. Latihan tanpa alas kaki di halaman masjid yang corannya mengelupas semua. Push Up pakai tinju, bukan telapak tangan, pun di lantai tembok yang sama, bongkol jari telunjuk dan tengah kentara.
Pun dalam pilihan kekhususan baik jurus maupun model pertandingan. Apakah mengarah ke pertarungan atau ke gerak indah. Saya ngeri-ngeri sedap melihat anak-anak sabuk diatas kalau lagi kumite, tak tanggung-tanggung hantamannya. Saya berusaha jangan sampai masuk ke kekhususan tarung ini, bisa remuk 🙂, berusaha sebaiknya di jurus-jurus gerak indah.
Tapi ya itu tadi, lha wong anggota yang latihan bisa dihitung jari, mau tak mau. Latihan 2x sepekan, rabu malam dan minggu pagi. Rabu untuk latihan biasa, minggu untuk kekhususan. Akhirnya sampai juga jatah saya harus ber-“kumite”, ya sudah mau tak mau.
Saya pasang kuda-kuda, jantung berdegup kencang, ya maklum ini “beramtem” resmi pertama yang saya sama sekali tidak di unggulkan, pernah dulu berantem sekali di SD, tapi posisi unggulan, habis menang dapat hukuman angkut pasir 🙂. Kumite tanpa pelindung sama sekali, tarung bebas. Suhu memberika aturan, tidak boleh tendang selangkangan, pukul mata atau kepala, tapi ya gimana kontrolnya.
Lawan saya lansung menerjang sesaat suhu bilang mulai, dengan teriakan haaiiik.!, saya kaget reflek lari. Teman-teman tertawa, pun suhu, “jangan pakai jurus kaki seribu Ton” suhu meledek. 😁, saya mesem. Pasang lagi kuda-kuda.
“Mulai !”, suhu memberi aba-aba lagi. Lawan saya lansung memberikan tendangan rendah dari samping ke lutut kanan saya. “Aduh” saya, terduduk, mengaduh dan membuat darah mulai panas, sambil meregangkan kaki kanan yang jadi sasaran “mm.. tidak boleh ini” saya berguman.
“Satu nol, siap-siap ” suhu memberi aba-aba lagi setelah saya bisa meredakan rasa sakit. Saya masih posisi menunggu, hati panas. Lawan saya membuka serangan dengan tendangan lurus ke arah perut. Reflek saya bertumpu di kaki kiri, berputar menendang ekor naga, pas di pipi lawan saya. “Aduh!!” dia menjerit kecil, “satu satu” guman saya dalam hati sambil senyum. “Ton, peringatan, tidak boleh kepala !” Suhu mengingatkan. “Ya suhu” jawab saya sambil senyum penuh arti.
Ronde terakhir praktis masa pendinginan, tidak ada lagi serang-serangan yang semangat, sudah saling dapat jatah soalnya, sampai Suhu bilang selesai. Saya kalah secara angka, karena tendangan saya melanggar aturan, kami pun bersalam. “kalera ang ton, angek pipi den” kata teman yang tadi lawan saya, “ang iyo lo, tengkak den dek e” jawab saya, kami pun saling ketawa lagi.
Pulang ke kontrakan dengan “tengkak-tengkak” tentu saja jadi pertanyaan kenapa, apalagi ada mama waktu itu, jawabab normalnya “jatuh latihan ma”, untuk menghindari pertanyaan selanjutnya, lagian kalah kan tidak enak kalau diceritakan.
Seingat saya itulah kumite yang berkesan, maklum masih muda waktu itu. setelahnya saya lebih banyak latihan normal dan gerak indah Nan Quan. Itupun tidak mudah, latihan di tembok keriting, pas tendangan berputar yang lansung jatuh ke lantai, berasa juga. Apalagi kepala yang kejedut, bengkak juga.
Manusia itu memang perlu untuk di push pada satu limit-limit tertentu sesuai dengan tujuannya. Pada hakikatnya tidak ada yang tidak bisa bagi manusia, selama dia berusaha dan jangan berputus asa. Latihan wushu di Masjid Agung ini memberi pelajaran itu bagi saya, walaupun memang tidak sampai selesai, karena pindah untuk sekolah yang lebih tinggi.
Dojo Taekwondo Rusa Bogor, 16 Januari 2022 #pushTheLimit #antarAnak